1001indonesia.net – Sejak ratusan tahun lalu, piring gantung atau keramik China memiliki arti penting bagi masyarakat Biak. Keramik antik berhias ukiran huruf China, lukisan, gambar Naga, dan berbagai ormanen lainya itu memiliki fungsi sosial-budaya yang tinggi. Salah satunya sebagai mas kawin dalam pernikahan adat Biak.
Dalam sejarahnya, beberapa abad silam, piring gantung dibawa langsung oleh para pedagang Tionghoa dari negeri asalnya. Sebagai penghasil utama rempah-rempah dunia, Maluku khususnya Kepulauan Banda, memiliki andil yang cukup besar atas penyebaran keramik antik di tanah Papua.
Sebagian para pedagang Tionghoa yang datang ke Maluku penasaran dengan keindahan Papua. Mereka kemudian mengambil keputusan untuk melihat tanah Papua lebih dekat.
Baca juga: Maluku, Kepulauan yang Kaya akan Rempah-rempah
Menurut cerita rakyat Papua yang diturunkan dari generasi ke generasi, para saudagar dari negeri tirai bambu itu sangat takjub ketika kali pertama menginjakkan kali di tanah Papua. Karena itu, mereka kemudian memutuskan untuk menetap.
Namun, untuk dapat menetap, ada persyaratan yang harus mereka penuhi. Mereka harus menikahi anak perempuan kepala suku/tuan tanah terlebih dahulu. Setelah itu, para pedagang itu baru dipersilakan untuk menetap dengan mengklaim tanah pemberian dari ayah perempuan yang dinikahinya.
Selain itu, para pedagang Tionghoa yang mencari burung cenderawasih menggunakan keramik China sebagai alat tukar. Keramik-keramik tersebut lalu dijaga turun-temurun sampai oleh generasi suku Biak.
Telah umum diketahui oleh orang Papua fungsi piring gantung sebagai mahar. Dalam adat perkawinan orang Biak-Numfor, piring gantung digunakan oleh pihak laki-laki sebagai alat untuk membayar mas kawin kepada pihak perempuan.
Mas kawin yang diberikan kepada pihak keluarga perempuan menjadi tanda kehormatan dan harga diri dari keluarga calon pengantin laki-laki. Dalam hal ini, laki-laki difungsikan untuk dapat membawa istri hidup bersama-sama dalam bingkai rumah tangga, guna meneruskan keturunan dan keberlangsungan marga.
Selain berfungsi sebagai mahar, keramik antik itu juga memiliki fungsi lain, seperti untuk penyambutan tamu kehormatan, pemotongan rambut bayi yang baru saja lahir, dan sebagai hiasan dinding.
Keberadaan keramik antik asal Tiongkok ini juga memengaruhi budaya orang Biak. Salah satunya, motif ular naga yang terdapat pada piring gantung. Dalam kepercayaan masyarakat Tiongkok, naga berperan sebagai pelindung. Oleh orang Biak-Numfor, naga kemudian juga dipercaya sebagai pelindung dan pembawa keberuntungan.
Baca juga : Wor, Kesenian Tradisional Masyarakat Adat Napa Swandiwe, Biak, Papua