1001indonesia.net – Pemerintah Hindia Belanda dan Indonesia di Masa Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto melaporkan tingginya tingkat buta huruf masyarakat Indonesia.
Namun, dari laporan itu sebenarnya kita tidak bisa sepenuhnya mengambil kesimpulan bahwa kemampuan baca-tulis masyarakat Nusantara sangat rendah di masa silam, dan baru membaik setelah berkembangnya sistem pendidikan modern. Sebab, laporan-laporan awal bangsa Eropa yang datang ke Asia Tenggara menunjukkan hal yang sebaliknya.
Lagipula, laporan rendahnya kemampuan baca-tulis itu tidak sepenuhnya benar, terutama pada masa Hindia Belanda. Karena yang dimaksud pemerintah kolonial Belanda tepatnya adalah buta huruf Latin, dan baru kemudian secara berangsur-angsur sebagian masyarakat kita buta semua jenis huruf.
Ketika Hindia Belanda melakukan sensus pada 1920, perhatian petugas yang berpikiran modern dan mewakili minat pemerintah kolonial tertuju pada sistem pendidikan modern bentukan pemerintah yang mengajarkan bahasa Melayu dan Belanda dengan huruf Latin. Sementara mereka mengabaikan kemampuan baca-tulis dalam bahasa dan aksara yang tidak diajarkan di sekolah.
Anthony Reid dalam bukunya yang berjudul Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (2014) menulis, “Para pengunjung awal dari Eropa ke Asia Tenggara terpukau oleh tingginya tingkat kemampuan baca tulis yang dijumpai di sana.”
Dilaporkan di Filipina, orang-orang terbiasa membaca dan menulis dalam huruf yang berlaku di wilayah setempat pada bambu atau lembaran daun lontar sehingga “hampir tidak seorang lelaki pun, apalagi wanita, yang tidak bisa membaca dan menulis.”
Kecenderungan meluasnya kemampuan baca-tulis di kalangan rakyat juga terjadi di wilayah lainnya di Asia Tenggara, termasuk Jawa dan Bali.
Reid mengungkapkan adanya berbagai laporan yang menunjukkan betapa tingginya kemampuan baca tulis masyarakat Jawa dan Bali. Rijklof van Goens, yang memimpin perjalanan resmi dari Batavia ke istana Mataram (1648-1654), menyimpulkan bahwa mayoritas orang Jawa mampu membaca dan menulis.
Zollinger yang menulis tentang Lombok di tahun 1840-an menyatakan bahwa “hampir semua orang Bali mampu membaca dan menulis dalam bahasa mereka, termasuk kalangan penduduknya yang paling miskin, begitu pula kaum wanitanya.”
Baca juga: Aksara Nusantara, Kekayaan Tradisi Tulisan Bangsa Indonesia
Menurut Reid, kemampuan baca-tulis di masa-masa itu tidak didapatkan di sekolah, melainkan diteruskan oleh anggota keluarga yang lebih tua kepada anak-anak di rumah. Peran untuk meneruskan kemampuan baca-tulis ini terutama dimainkan oleh kaum wanita. Oleh kaum ibu kepada anak-anaknya.
Kala itu, wanita yang sama aktifnya menulis dengan kaum pria, menggunakan tulisan untuk urusan sehari-hari, termasuk untuk urusan komersial seperti catatan utang-piutang. Sebab itu, pewarisan kemampuan baca-tulis menjadi urusan rumah tangga.
Namun, situasi itu berubah setelah berkembangnya “sistem pendidikan monastik yang lebih ‘modern’ dan universalis yang diperkenalkan oleh Islam dan Kristen.” Sistem pendidikan yang bersifat keagamaan itu mengenalkan pola baca-tulis yang berbeda, dan menekan pola yang lama. Bagi sekolah-sekolah itu, kemampuan baca-tulis sangat terkait dengan kegiatan membaca teks-teks suci yang menjadi urusan kaum agamawan.
Di sisi lain, Hindia Belanda juga mulai mengembangkan sistem pendidikan modern untuk memenuhi kebutuhan pemerintah kolonial. Karena kemampuan baca-tulis dalam bahasa Melayu dan Belanda dengan huruf Latin dibutuhkan untuk menjadi pejabat kolonial, kemampuan itu dinilai tinggi oleh masyarakat.
Secara berangsur-angsur, pewarisan baca-tulis kemudian terjadi secara eksklusif di sekolah, baik di sekolah keagamaan maupun sekolah-sekolah modern bentukan pemerintah. Dan, karena kaum wanita sangat sedikit kesempatannya untuk mendapatkan pendidikan dalam bentuk apa pun, baca-tulis kemudian menjadi urusan kaum pria. Itu pun kaum pria dari kalangan tertentu.
Dikabarkan, sejak itu, kemampuan baca-tulis masyarakat Nusantara terus menurun. Jika pada masa-masa sebelumnya beberapa laporan menunjukkan kemampuan baca-tulis yang hampir menyeluruh, data sensus pemerintah kolonial di Filipina dan Hindia Belanda pada awal abad ke-20 menunjukkan hal yang sebaliknya.
Hasil sensus itu memang bisa diperdebatkan karena mengabaikan kemampuan baca-tulis dengan bahasa dan aksara yang tidak diajarkan di sekolah bentukan pemerintah.
Namun, berkembangnya pendidikan dengan pola baca-tulis yang berbeda dan menekan pola yang lama serta surutnya posisi aksara lokal karena tergeser oleh aksara Latin memang berdampak pada surutnya kemampuan baca-tulis di kalangan rakyat banyak. Saat ini, sebagian besar dari kita bahkan tidak lagi mengenali beragam aksara lokal yang dimiliki Indonesia.
Ini membuktikan, setidaknya pada masa itu, betapa efektifnya pewarisan kemampuan baca-tulis yang dilakukan kaum ibu di rumah tangga. Di tangan kaum perempuan, kemampuan baca-tulis lebih tersebar luas dibandingkan ketika dipegang oleh kaum pria melalui sekolah-sekolah.
“Merupakan suatu paradoks yang menarik bahwa pertumbuhan suatu kebudayaan tertulis mungkin mengurangi jumlah orang yang dapat menulis karena dikaitkannya penulisan dengan hal-hal yang suci dan khidmat,” tulis Reid.
Selamat Hari Kartini.