1001indonesia.net – Perang Ketupat sudah ada sejak ratusan tahun lalu di Pulau Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sebagaimana namanya, upacara adat ini berbetuk perang-perangan dengan ketupat sebagai senjatanya. Konon perang ketupat sudah ada ketika Gunung Krakatau meletus pada 1883.
Tradisi Perang Ketupat sering disebut juga dengan istilah Ruah Tempilang. Ritual ini biasanya digelar pada tanggal 1 Muharam di Pantai Pasir Kuning Tempilang.
Selain itu, upacara ini juga digelar saat menyambut bulan suci Ramadhan dan pada bulan ruwah atau Sya’ban dalam kalender Hijriyah. Biasanya dimulai pada tanggal 15 Sya’ban atau memasuki minggu ketiga di bulan tersebut.
Rangkaian upacara Perang Ketupat digelar selama dua hari. Pada hari pertama, upacara dimulai pada malam hari dengan menampilkan beberapa tarian tradisional mengiringi sesaji yang diletakkan di atas penimbong atau rumah-rumahan yang dibuat dari kayu menangor.
Pada dari kedua, masyarakat Tempilang mengawali kegiatan dengan menyelenggarakan acara Nganggung di Masjid Jami’ Tempilang. Upacara Perang Ketupat kemudian digelar di Pantai Pasir Kuning. Upacara diawali dengan menampilkan Tari Serimbang.
Upacara ini awalnya merupakan upacara Taber kampung, yakni upacara menaber (menolak, memurnikan, dan mengobati) kampung agar penghuninya aman dari berbagai gangguan penyakit, musibah, dan bala. Upacara tolak bala ini dilakukan setahun sekali oleh warga kampung di Pulau Bangka.
Konon upacara ini bermula dari sebuah musibah yang menimpa masyarakat Desa Tempilang. Kala itu banyak anak gadis yang diambil dan dimakan siluman buaya. Kejadian itu membuat penduduk merasa ketakutan. Untuk mengatasi masalah tersebut para tetua berinisiatif mengadakan ritual secara bersama-sama untuk mencegah terjadinya musibah yang lebih besar lagi.
Dalam perkembangan selanjutnya ritual tersebut menjadi kegiatan tahunan yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Tempilang hingga saat ini. Pelaksanaannya dijadwalkan pada minggu ketiga Sya’ban menjelang Ramadhan. Upacara inilah yang kemudian dikenal masyarakat dengan sebutan Perang Ketupat.
Dilansir dari website kebudayaan.kemdikbud.go.id, dalam tradisi ini, ketupat menjadi simbol persatuan, kesatuan, kesadaran, dan kegotongroyongan. Sesaji bermakna hubungan kekeluargaan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga terciptanya kehidupan bersama yang harmonis.
Dalam ritual ini terdapat prosesi nganyot perae atau menghanyutkan perahu sebagai simbol memulangkan tamu-tamu makhluk halus yang datang ke desa Tempilang, terutama yang bermaksud jahat, agar tidak mengganggu warga.
Juga ada prosesi pemberian makanan kepada makhluk halus, yaitu ngancak (untuk yang bermukim di laut) dan penimbongan (untuk yang bermukim di darat). Tujuannya agar makhluk halus tidak mengganggu aktivitas warga, baik saat pergi melaut maupun saat mereka sedang berada di daratan.
Baca juga: Perang Topat, Merayakan Keberagaman di Pura Lingsar Lombok