1001indonesia.net – Sebagai negara kepulauan dengan dua per tiga wilayahnya merupakan laut, Indonesia memiliki budaya bahari yang kuat. Ini tampak dari beragamnya perahu tradisional yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah perahu kora-kora.
Kora-kora merupakan perahu tradisional Kepulauan Maluku yang digunakan untuk perdagangan dan keperluan perang. Sebagai penghasil utama rempah-rempah dunia, kora-kora ikut andal sebagai sarana transportasi laut pada kegiatan perdagangan di Kepulauan Maluku di masa silam.
Panjang perahu ini kira-kira 10 meter dan tidak lebar, biasanya terbuka, sangat rendah, dengan berat kira-kira 4 ton. Bentuk kora-kora mirip dengan perahu naga China.
Perahu ini memiliki cadik bambu sekitar 1,5 m dari setiap sisi, yang mendukung sebuah panggung bambu yang memanjang sepanjang panjang kapal. Di bagian luar duduk dua puluh pendayung, sementara di bagian dalam bisa dilewati dari depan sampai belakang.
Baca juga: Cadik, Perlengkapan Kapal Penjelajah di Nusantara
Bagian tengah perahu yang ditutupi dengan atap menjadi tempat barang dan penumpang. Deknya tidak lebih dari satu kaki (30 cm) di atas air karena berat bagian atas dan berat bagian samping yang besar.
Pada umumnya, perahu kora-kora terbuat dari kayu jenis Gufasa atau jenis Marfala. Ukuran perahu ini lebih besar dari perahu nelayan. Jika perahu nelayan biasa hanya untuk dua sampai lima orang, kora-kora bisa memuat hingga puluhan orang.
Asal dari nama kora-kora tidak diketahui, tetapi mungkin diambil dari kata Arab qorqora; bentuk jamak dari qarâqir, yang berarti “kapal dagang besar”. Kemungkinan lain nama tersebut berasal dari bahasa asli, yang maknanya hilang seiring waktu.
Istilah ini juga mungkin berasal dari bahasa Spanyol atau bahasa Portugis carraca. Namun, dalam catatan Portugis dan Spanyol tertua akan Maluku, mereka melaporkan caracora, coracora, carcoa, tetapi tidak pernah carraca.
Di Ternate, ada dua bentuk perahu kora-kora, yaitu juanga dan kudunga. Bentuk juanga yang memiliki atap di bagian tengahnya lebih diperuntukan bagi sultan. Sementara kora-kora kudunga digunakan untuk masyarakat umum.
Tak semata sebagai sarana transportasi laut, bentuk perahu tradisional ini juga memiliki makna tersendiri. Ukiran kepala naga yang terdapat pada perahu ini diambil dari hewan mitologi dalam budaya China. Sementara itu, cadik yang berada pada sisi kanan dan kiri perahu menyimbolkan persatuan dan kesatuan.
Sekitar tahun 1950-an, kora-kora pernah dipakai oleh masyarakat Ternate untuk menjemput Presiden Sukarno yang datang menggunakan pesawat yang mendarat di permukaan air laut. Ribuan masyarakat Ternate menyambut Presiden RI pertama itu dengan mengerahkan kora-kora yang ada.
Perahu tradisional ini menjadi kebanggaan masyarakat Maluku. Untuk melestarikan perahu kora-kora, Pemerintah Kota Ternate bahkan menggelar Festival Kora-kora setiap bulan November.
Baca juga: Perahu Sandeq, Perahu Layar Bercadik Kebanggaan Suku Mandar