Pegayaman, Belajar Toleransi dari Kampung Muslim di Pulau Bali

2799
Pegayaman, Belajar Toleransi dari Kampung Muslim di Pulau Bali
Masjid Jamik Safinatussalam di Desa Pegayaman, Sukasada, Buleleng, Bali. (Foto: sma71.sch.id)

1001indonesia.net – Desa Pegayaman adalah sebuah desa di Pulau Bali yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Terletak di Kecamatan Sukasada, Buleleng, tepatnya sembilan kilometer sebelah selatan Kota Singaraja, Bali bagian utara.

Dalam konteks sebuah persahabatan yang tulus, masyarakat Hindu Bali menyebut masyarakat Pegayaman sebagai Nyama Selam—artinya masyarakat yang beragama Islam. Masyarakat Bali pedesaan menyebut Islam itu Selam, mereka tak biasa mengucapkan kata awal Is.

Warga muslim Pegayaman ini bukanlah warga pendatang baru, mereka warga Bali asli. Agama Islam sudah berkembang di daerah ini setidaknya sejak abad ke-18 M. Sejak awal sudah terjalin hubungan yang harmonis antara mereka dengan masyarakat Hindu Bali.

Mereka pun banyak menyerap budaya Hindu Bali. Akulturasi budaya terjadi begitu baiknya. Misal dalam bidang bahasa. Warga Desa Pegayaman berbahasa Bali. Bahkan untuk kegiatan di masjid, bahasa yang dipakai bahasa Bali halus, seperti pula orang Hindu Bali yang berbahasa halus di pura.

Juga dalam tata sosial kemasyarakatan yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, hampir tak berbeda dengan tata sosial masyarakat Bali pada umumnya. Desa seluas 1.584 ha ini juga menerapkan sistem banjar seperti umumnya masyarakat Bali. Mereka membagi desa menjadi lima banjar, yaitu Dauh Margi (Barat Jalan), Dangin Margi (Timur Jalan), Kubu Lebah, Kubu, dan Amertasari.

Warga Pegayaman juga kerap menggunakan nama dengan perpaduan unsur Bali, Arab, dan terkadang Jawa. Di awal nama biasanya memakai tradisi Bali dengan menambahkan urutan kelahiran, yaitu Wayan, Made, Nyoman, dan Ketut. Lalu dilanjutkan dengan nama-nama Islam, seperti Yunus, Muhammad, dll. Jadi jangan salah, tidak semua orang bernama Wayan atau Made atau Ketut pasti beragama Hindu.

Akulturasi budaya juga tampak jelas pada bidang kesenian keagamaan yang mereka kembangkan. Pada bulan Maulud, ada pertunjukan kesenian khas Pegayaman dalam rangka memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW, yakni burda. Dalam pertunjukan ini dilantunkanlah sholawat dengan iringan musik tetabuhan. Alat tabuh yang digunakan semacam rebana, cuma lebih besar karena tubuhnya dibuat dari batang pohon kelapa.

Sekeha burda ini (mereka memakai kata sekeha juga, yang berarti kelompok) memakai pakaian tradisional Bali, sama dengan pakaian orang di luar Pegayaman. Memakai destar, berkain yang ujungnya meruncing di tengah, atau istilah Bali, mekancut.

Meski dinyanyikan dalam bahasa Arab, nada lagu sholawatan dalam pertunjukan ini mirip Kidung Wargasari yang dikenal di kalangan umat Hindu Bali. Di tengah-tengah sholawatan, ada juga pertunjukan tarinya, dengan pakaian dan gerak yang seirama dengan kesenian tradisional khas Bali. Namanya tari Selendang, Tari Tampan, Tari Perkawinan, Tari Pukul Dua.

Pekerjaan pokok penduduk Pegayaman bertani dan berkebun. Kalau panen kopi, penduduk sekitar Pegayaman—yang Hindu—ramai-ramai ikut bekerja memetik ke Pegayaman. Tak ada masalah. Mereka bekerja bersama tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan.

Warga desa di sana pun mengenal subak, tata organisasi pengairan khas Bali yang terkenal itu. Lengkap dengan upacara religiusnya. Di luar Pegayaman, organisasi subak lekat benar dengan upacara Hindu. Di Pegayaman, tentu dengan cara yang sesuai dengan keyakinan mereka.

Orang Pegayaman juga punya sekeha manyi (perkumpulan menuai padi) dan sekeha malapan (perkumpulan memetik kopi). Semangat gotong-royong mereka dalam membangun rumah, apalagi masjid, begitu kuat, tak kalah dengan masyarakat Hindu di sekitarnya. Hanya pakaian keseharian yang mereka kenakan saja yang membedakan mereka dari orang Bali di luar Pegayaman, yaitu kopiah untuk lelaki dan kerudung untuk perempuan.

Masyarakat di sana juga memiliki tradisi yang memperkuat kerukunan umat beragama. Namanya ngejot, yaitu tradisi pertukaran makanan antara umat Hindu dan Muslim saat Lebaran.

Maka, berkebalikan dengan penelitian yang ada saat ini yang menunjukkan adanya persoalan meningkatnya intoleransi di sejumlah daerah di Indonesia, Pegayaman dengan tradisi yang mereka kembangkan mampu menjaga keharmonisan antarumat yang berbeda keyakinan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

twenty − two =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.