1001indonesia.net – Pantun Sunda merupakan kekayaan tradisi lisan masyarakat Jawa Barat. Tradisi yang sudah berusia ratusan tahun ini meski memiliki nama yang sama, tapi berbeda dengan pantun dalam tradisi Melayu. Pagelaran pantun Sunda berbentuk tuturan atau penceritaan bersyair dengan iringan musik kecapi indung. Bentuknya merupakan campuran antara percakapan, lagu, dan syair cerita. Biasanya isinya tentang pencarian kerohanian.
Ritual
Pagelaran pantun Sunda sangat terkait dengan ritual, terutama tradisi pemuliaan padi. Karena seni tradisional ini terkait dengan ritual, terdapat persyaratan khusus dalam penyajiannya. Sang juru pantun yang bertugas menyajikan cerita pantun dalam iringan kecapi tidak cukup hanya dengan kemampuan membawakan cerita, tapi juga harus memiliki kemampuan spiritual. Untuk itu, juru pantun mungkin akan berpuasa selama beberapa hari sebelum acara berlangsung.
Penyajiannya pun harus dilengkapi dengan sesajian atau sesajen lengkap dengan kemenyan bakar. Sesajen menjadi simbol dari dunia atas dan dunia bawah, yang sakral dan yang profan. Penyediaan sesajian mutlak ada dalam pertunjukan seni pantun. Tanpanya, pagelaran tak bisa dimulai.
Selain itu, pembacaan pantun selalu dimulai dan diakhiri dengan pengucapan mantra. Pantun diawali dengan pengucapan dan nyanyian rajah sebagai doa kepada para leluhur untuk memohon keselamatan dan kelancaran kegiatan yang dilaksanakan.
Pagelaran pantun Sunda lebih banyak digunakan sebagai sarana kepentingan upacara ruwat (ngaruwat) meskipun kadang diselenggarakan juga untuk meramaikan acara perkawinan
atau khitanan. Waktu pelaksanaannya, selalu dilakukan malam hari, saat kegiatan sehari-hari telah usai.
Isi Cerita
Seni menyanyikan pantun merupakan pekerjaan tunggal. Juru pantun menyanyi sambil memetik kecapi indung (induk kecapi) berbentuk perahu. Musik kecapi mengiringi sekaligus menjadi bagian dari pantun Sunda, berfungsi untuk menandai suasana hati dan perubahan adegan cerita. Kisah yang diceritakan dan iringan musik kecapinya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam pagelaran pantun Sunda.
Kebanyakan kisah yang dituturkan berasal dari masa kerajaan Hindu Pajajaran, sebelum beralih ke Islam di akhir abad ke-16. Pada tingkat yang tertinggi, kisahnya melambangkan perjalanan kerohanian yang dijalani setiap orang dalam hidupnya.
Namun, seperti kebanyakan kesusastraan besar Nusantara, kisah itu dapat dinikmati juga sebagai dongeng yang menghibur. Juru pantun sering kali berimprovisasi, tergantung selera dan penonton.
Saat ini, pola pemikiran masyarakat sudah bergeser. Kesenian tradisional semakin terpinggirkan. Meski masih bisa dijumpai, pagelaran pantun Sunda sudah sangat jarang terjadi.