Pancasila dalam Kehidupan Bhinneka Manusia Indonesia

1485

1001indonesia.net – Bangsa Indonesia sangat beruntung. Keindonesiaan dibentuk oleh para pendiri bangsa yang amat sangat sadar akan kenyataan kehidupan multikultural.

Para pendiri bangsa tidak menyembunyikan pertanyaan mengenai relasi antara mayoritas dan minoritas, pusat dan daerah, arus utama dan arus pinggiran, kontrol dan pengimbangan, pengakuan individu dan keadilan sosial, bahasa pemersatu dan ratusan bahasa lokal, pandangan hidup masyarakat pedalaman dan masyarakat pesisir.

Mereka memanfaatkan awal-awal kemerdekaan sebagai upaya untuk mendiskusikan hal-hal tersebut. Dalam hal itu, disadari bahwa sektarianisme dapat menghilangkan kebinekaan Indonesia—atas alasan apa pun.

Disadari juga bahwa di masa mendatang, pertanyaan-pertanyaan itu akan selalu muncul. Sering kali kemunculannya disertai dengan kebencian dan intoleransi. Sepanjang masa Orde Baru dan Reformasi, terbukti bahwa pertanyaan tersebut terus muncul.

Ketokohan atau kepemimpinan dalam pluralisme religius dan toleransi sering diarahkan pada upaya individu atau kelompok dalam memperjuangkan bentuk-bentuk kehidupan yang terbaik, dengan terus-menerus mengurangi dominasi (satu pihak terhadap pihak yang lain).

Hal ini juga mengarah pada kedewasaan pikiran dan sikap hidup ugahari. Mengenai ini, banyak orang akan segera setuju dengan gambaran ini. Namun demikian, kebencian dan intoleransi amat menggiurkan dan menggoda suatu ketokohan atau kepemimpinan, bahkan mereka yang paling berpengaruh. Hal ini sering membawa pada bergeloranya emosi karena terseret godaan tersebut.

Ketokohan dan kepemimpinan dalam pluralisme religius dan toleransi ini diperjuangkan untuk mengolah keragaman menjadi kekayaan. Setiap warga Indonesia tidak kurang Indonesia karena keunikannya, apa pun itu wujud dan sifatnya. Setiap orang Indonesia juga tidak kurang Indonesia karena pilihan-pilihan kehidupan mereka.

Untuk mengolah keragaman, posisi subjek dalam kebangsaan multikultural tak bisa dipandang sebagai sesuatu yang akan terwujud dengan sendirinya tanpa usaha secara sengaja.

Indonesia dengan segala pecahan kekamian berbasis agama, ras, suku, kepartaian, dan kelas sosial tak akan bisa dijumlahkan menjadi kebersamaan-kekitaan, kecuali memiliki kerangka titik-temu (common denominator). Dalam mengupayakan titik-temu, kita memerlukan suatu konsepsi (cita negara) dan konsensus bersama menyangkut hal-hal fundamental bagi keberlangsungan, keutuhan, dan kejayaan bangsa.

Dalam mengelola keragaman ini, konsepsi dasar (falsafah) negara dirumuskan dengan merangkum lima prinsip utama sebagai “titik temu” (yang mempersatukan keragaman bangsa), “titik pijak” (yang mendasari ideologi dan norma negara), serta “titik tuju” (yang memberikan orientasi kenegaraan-kebangsaan) negara-bangsa Indonesia.

Kelima prinsip utama itu dikenal dengan sebutan Pancasila. Dengan semangat dasar kelima prinsip Pancasila, negara/bangsa Indonesia memiliki konsepsi kenegaraan-kebangsaan yang begitu visioner dan tahan banting.

Pancasila dapat dikatakan ideologi komprehensif tentang inklusi sosial yang ingin menyertakan keragaman agama dan kepercayaan, asal usul manusia, ragam etnis dan adat istiadat, serta aliran politik dan kelas sosial dalam kehidupan publik.

Dari sudut pandang paradigma Pancasila, meningkatnya kecenderungan eksklusi sosial yang menampakkan diri dalam aneka bentuk kekerasan sosial berbasis fundamentalisme keagamaan, tribalisme, premanisme, serta sentimen kelas sosial mencerminkan lemahnya proses institusionalisasi dan implementasi nilai-nilai Pancasila.

Ketokohan atau kepemimpinan dalam pluralisme religius dan toleransi akan mengupayakan penyegaran pemahaman, penghayatan, dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila untuk menangkal berjangkitnya beragam ancaman ekstremisme dan eksklusi sosial.

Dengan menguatkan nilai ketuhanan yang berkebudayaan, kebangsaan yang berperikemanusiaan, serta demokrasi permusyawaratan yang berorientasi keadilan sosial, Indonesia diharapkan mampu menghadapi tantangan fragmentasi sosial dengan mental persatuan dan keadilan yang inklusif.
______________________________________

*) Statement release:
Challenges to Religious Pluralism and Tolerance
Seminar, 14 Juni 2017, Gedung Perpustakaan Nasional
Nurcholish Madjid Society & Embassy of the Kingdom of the Netherlands to Indonesia   (Jakarta)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

sixteen − thirteen =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.