1001indonesia.net – Kerusuhan Tanjungbalai di Sumatra Utara yang terjadi pada Jumat 29 Juli sekitar pukul 23.30 WIB hingga Sabtu 30 Juli 2016 dini hari diawali permintaan seorang ibu etnis Tionghoa, Meliana, agar masjid di dekat rumahnya mengecilkan volume pengeras suaranya.
Ternyata, tindakan ini menimbulkan kemarahan sejumlah orang. Mereka tidak terima atas
protes ibu tadi. Awalnya, kemarahan ini bisa diredakan oleh pimpinan lingkungan dan polisi setempat.
Namun, beberapa jam kemudian muncul massa beringas yang membakar dan merusak sejumlah bangunan wihara, kelenteng, dan kendaraan pribadi. Peristiwa ini menyebabkan
15 bangunan yang terdiri atas wihara, kelenteng, dan rumah pribadi dibakar dan dirusak massa, tujuh di antaranya rusak berat.
Banyak yang mengatakan, juga penduduk Tanjung Balai sendiri, kerusuhan ini sebenarnya bukan konflik agama. Kesenjangan ekonomilah yang menjadi penyebab utama. Unsur agama hanya menjadi pemantik saja.
Beberapa pihak menyebutkan sikap etnis Tionghoa di Tanjung Balai selama ini arogan dan tidak menghormati etnis-etnis lainnya yang beragama Islam. Warga yang telah lama memendam kemarahan lalu melampiaskannya ketika ada seorang warga etnis Tionghoa memprotes pengeras suara masjid. Mereka menganggap protes yang disampaikan Meliana merupakan wujud nyata dari sikap arogansi warga pendatang.
Namun, pihak Komnas HAM mengambil kesimpulan lain. Dalam siaran persnya, Komnas HAM berpendapat bahwa permintaan Meliana untuk mengecilkan volume pengeras suara disampaikan dengan cara yang wajar. Permintaan tersebut diutarakan ke pihak pengurus masjid dan sudah ada mediasi dengan pihak kelurahan. Pihak Meliana pun sudah meminta maaf atas permintaannya.
Komnas HAM menilai bahwa sebenarnya peristiwa ini tidak akan terjadi jika tidak ada distorsi informasi yang disampaikan beberapa oknum. Informasi yang menyebar adalah ada warga etnis Tionghoa yang melarang azan dan memprotes pengeras suara
masjid.
Tulisan-tulisan provokasi melalui media sosial yang menyebar di masyarakat untuk menyulut kebencian etnis dan agama kemudian menyulut kemarahan warga hingga
mereka melakukan perusakan dan pembakaran.
Sebelumnya, warga Buddha etnis Tinghoa dan warga muslim Tanjung Balai juga pernah berkonflik. Pada 30 Mei 2010 dan 29 Juni 2010, beberapa ormas yang mengatasnamakan
“Gerakan Islam Bersatu” melakukan demonstrasi ke kantor DPRD dan Walikota Tanjung Balai. Mereka mendesak pemerintah menurunkan patung Buddha Amithaba di wihara Tri
Ratna dengan alasan bahwa keberadaan patung tersebut tidak mencerminkan kesan islami di Kota Tanjung Balai dan dapat mengganggu keharmonisan masyarakat.
Lagi-lagi, alasan utama di baliknya disinyalir bukanlah agama, persaingan sosio-ekonomi yang menjadi penyebabnya. Masyarakat Tanjung Balai merasakan dominasi orang-orang
Tionghoa pada bidang sosial dan ekonomi.
Saat umat Buddha Tionghoa membangun patung Buddha yang tingginya menjulang mengalahkan tinggi bangunan Balai yang dibangun pemerintah sebagai monumen
Tanjungbalai, mereka anggap sebagai sikap arogan etnis Tionghoa untuk menunjukkan dominasinya.
Sebab itu, warga menuntut agar patung tersebut diturunkan. Tuntutan masyarakat akhirnya menerbitkan kesepakatan untuk menurunkan patung tersebut. Namun, kesepakatan ini tak kunjung direalisasikan.
Setelah kerusuhan Tanjung Balai pada Juli 2016—Vihara Tri Ratna merupakan salah satu bangunan yang dirusak massa—demi terciptanya suasana kondusif dan hubungan harmonis di antara umat beragama di Kota Tanjung Balai, dibuat keputusan bersama yang melibatkan juga pemerintah kota untuk memindahkan patung Buddha setinggi 6 meter itu ke lokasi yang telah ditentukan. Patung ini akhirnya diturunkan pada Oktober 2016.
Etnis Tionghoa di Sumatra Utara
Wilayah Sumatra Utara merupakan satu wilayah di mana persentase etnis Tionghoanya paling besar di Indonesia. Sejak zaman Hindia Belanda, sudah terdapat banyak pemukiman permanen etnis Tionghoa, misalnya di Bengkalis, Tanjung Balai, Pematang Siantar, Binjai,
dan Tebing Tinggi.
Saat itu, Sumatra Utara dikenal sebagai Sumatra Timur Tanah Kekuasaan Raja-Raja Melayu. Sampai abad ke-19, mayoritas penduduk Sumatra Timur terdiri atas kelompok etnis Batak Karo, Batak Simalungun, dan Melayu. Mereka inilah yang dikenal sebagai penduduk asli Sumatra Timur.
Sudah ada pendatang dari Tiongkok karena pada awal abad ke-7 Masehi, di beberapa pelabuhan di Sumatra Timur sudah terdapat pedagang-pedagang Tionghoa terutama di wilayah Aru, Kota China, dan pulau Kampai.
Baru pada pertengahan abad ke-19, terjadi imigrasi etnis Tionghoa dalam jumlah besar. Saat itu, kolonial Belanda mengembangkan perkebunan di wilayah ini. Pada awalnya, masyarakat setempat tidak bersedia bekerja di perkebunan itu.
Sebab itu, Belanda kemudian mendatangkan pekerja dari luar daerah, terutama dari Tiongkok bagian selatan dan Pulau Jawa. Kawasan Sumatra Timur kemudian dihuni oleh
etnis yang beragam.
Sejak itu, wilayah Sumatra Timur berciri sistem ekonomi perkebunan. Ciri utama ekonomi perkebunan adalah daerah yang kaya raya, sekaligus ketergantungan pada daerah lain untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Meningkatnya jumlah penduduk dan kurangnya lahan pertanian menjadi penyebabnya. Dalam hal ini, para pedagang etnis Tionghoa memainkan peran besar.
Sementara itu, para buruh Tionghoa yang telah menyelesaikan kontrak kerja dari kolonial Hindia Belanda mulai berupaya untuk menetap di kota-kota, dan lambat laun mereka
bekerja sebagai pedagang, pemilik toko, petani kecil, nelayan, dan penjual barang bekas.
Pada 1920, pemukiman pedagang Tionghoa sudah tampak di beberapa kota besar, antara lain Siantar dan Medan. Sebagian besar toko dan perdagangan di kota itu didominasi
oleh orang Tionghoa.
Pengelompokan yang dilakukan pemerintah kolonial dan Indonesia pascamerdeka sedikit banyak membuat etnis Tionghoa terasing dari penduduk setempat. Mereka tinggal dalam
kantong-kantong pemukiman sesama etnis mereka, terutama di kawasan perniagaan di wilayah perkotaan.
Mereka masih kental memelihara budaya Tionghoa dan menggunakan bahasa Tionghoa atau dialek asal kampungnya di daratan Tiongkok. Hal ini membuat integrasi etnis ini dengan masyarakat setempat tidak berjalan lancar.
Interaksi Antar-Etnis di Sumatra Utara
Pada umumnya, situasi di Sumatra Utara yang dihuni oleh beragam etnis ini kondusif dan tenang. Jarang sekali terjadi kekerasan antaretnis, terutama sejak masa Reformasi. Pematang Siantar, misalnya, dinobatkan sebagai kota paling toleran di Indonesia pada 2015 oleh Setara Institute. Kota lain di Sumut yang dikenal toleran adalah Sibolga. Dua kota di Sumatra Utara ini dianggap berhasil membangun kebersamaan dalam masyarakat yang multikultur.
Namun, bagaimana dengan kota-kota lain di Sumatra Utara? Apakah minimnya konflik antaretnis dan agama bisa dijadikan acuan bahwa wilayah Sumatra Utara, khususnya di bagian timur, bisa dikatakan sebagai daerah yang menjunjung nilai keberagaman?
Sebab, meskipun tidak menjadi konflik yang terbuka, pengalaman-pengalaman
konfliktual dalam relasi antaretnis toh tetap terjadi. Penentangan masyarakat terhadap patung Buddha Amithaba di Wihara Tri Ratna dan protes seorang warga terhadap pengeras suara masjid yang berujung pembakaran sejumlah tempat ibadah di Tanjung Balai menunjukkan bahwa ketegangan antaretnis masih ada.
Seperti yang ditunjukkan dalam sebuah penelitian mengenai relasi etnik dan identitas kewargaan di kota Binjai, Sumatra Utara (Budiman ed. 2012), sebagian masyarakat perkotaan di Sumatra Utara masih melihat etnis Tionghoa sebagai kelompok yang
eksklusif.
Warga dari etnis Tionghoa lebih suka bercengkerama dengan sesama mereka. Mereka masih menggunakan bahasa ibu dalam berkomunikasi sesama mereka, bahkan
saat mereka berada di tempat publik. Hal ini membuat etnis lain merasa risi.
Dalam kegiatan sosial, etnis Tionghoa cenderung menghindari kegiatan yang dinilai tidak menguntungkan etnis mereka. Kalau pun terlibat, keterlibatannya biasanya hanya dalam
bentuk menyumbang dana.
Seperti diungkapkan di atas, sejarah panjang kebijakan segregasi baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintah pasca-kolonial menjadi penyebab terasingnya etnis Tionghoa
dari etnis-etnis lainnya. Segregasi menyebabkan sikap saling curiga sehingga masing-masing etnis saling menjaga jarak dengan yang lainnya.
Etnis Tionghoa, kelompok yang selalu dipersepsi sebagai nonpribumi, kemudian membangun “benteng”. Mereka fokus pada bidang ekonomi—satu-satunya area di mana mereka masih relatif bebas—dan mempererat ikatan di antara mereka sendiri. Inilah yang membuat mereka tampak eksklusif.
Perubahan kebijakan pascaruntuhnya Orde Baru tidak serta merta menghilangkan ketegangan antaretnis ini. Etnis Tionghoa sudah terlanjur kuat dalam bidang ekonomi.
Dominasi mereka dalam bidang perdagangan sulit untuk ditandingi etnis lainnya, apalagi oleh orang-orang yang baru masuk.
Beberapa penelitian mengenai kota Medan, misalnya, menunjukkan bahwa keharmonisan relasi antaretnis dalam kota ini lebih dikarenakan populasi yang relatif imbang. Posisi ini membuat para pihak memilih untuk menjaga suasana damai karena konflik akan merugikan semua pihak.
Namun, bukan berarti tidak ada upaya dari beberapa pihak untuk melakukan pembauran antaretnis, untuk mengupayakan sebuah masyarakat yang lebih inklusif. Pengalaman pahit kerusuhan anti-Cina pada 1998 menyadarkan banyak pihak betapa destruktifnya kekerasan yang diakibatkan oleh kebencian etnis. Sebab itu, upaya-upaya pembauran banyak dilakukan baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat.
Sumatra Utara sendiri telah memiliki sejarah panjang dalam pembauran antaretnis. Seabad yang lalu, Kota Medan memiliki tokoh Tjong A Fie, seorang pengusaha Tionghoa nonmuslim yang sukses karena kepiawaiannya berelasi dengan orang-orang dari berbagai kalangan.
Ia dikenal sangat dermawan terhadap siapa saja.
Tjong A Fie dekat dengan Kesultanan Deli dan banyak membantu dalam pembangunan masjid. Salah satu masjid yang ia bangun adalah Masjid Lama Gang Bengkok yang sampai saat ini masih menjadi simbol pembauran antara etnis Melayu dan etnis Tionghoa.
Saat ini, ada sosok dokter bernama Sofyan Tan. Ia adalah contoh betapa sulitnya hidup sebagai orang Tionghoa yang tidak kaya. Berangkat dari getirnya mendapatkan perlakuan diskriminasi, ia terinspirasi untuk membangun kesadaran pluralisme melalui pendidikan dengan mendirikan Sekolah Pembauran di Medan. Menurutnya, pendidikan adalah kunci jika kita ingin membangun sebuah masyarakat yang tidak takut akan keberagaman.
*) Tulisan ini merupakan bagian dari buku Indonesia, Zamrud Toleransi. Dimuatnya kembali tulisan ini dalam situs 1001 Indonesia sebagai upaya untuk menyebarkan ide-ide yang terdapat dalam buku tersebut pada khalayak yang lebih luas.