Masyarakat Jawa mempercayai bahwa nama yang diberikan dapat memengaruhi kondisi fisik si jabang bayi. Nama yang tidak cocok akan membuat bayi mengalami kabotan jeneng. Ketika ini terjadi, mengubah nama lahir menjadi solusi agar si jabang bayi menjadi sehat kembali.
1001indonesia.net – Tahukah kalian apa itu antropologi? Antropologi merupakan ilmu yang membahas mengenai manusia dan budayanya. Sering kali ilmu tersebut juga tidak terlepas dari bagaimana manusia tersebut berpikir dan kondisi yang terjadi pada manusia, seperti yang dikembangkan dalam antropologi kognitif.
Antropologi kognitif berfokus pada hubungan antara budaya dan pikiran manusia. Budaya bukan hanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan materi, namun juga tentang bagaimana manusia tersebut berpikir dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal itulah yang menjadi alasan bahwa ide (gagasan) menjadi salah satu dari tiga wujud kebudayaan.
Budaya yang berkembang dalam masyarakat sangat beragam. Masyarakat sendiri sangat bergantung pada budaya tersebut. Tidak terkecuali, bagaimana cara berpikir manusia terbentuk hingga menjadi suatu pengetahuan dalam masyarakat, sangat dipengaruhi oleh budaya yang berkembang dalam masyarakat tersebut.
Begitu pula dengan pengetahuan yang terbentuk dalam sebuah masyarakat mengenai nama bayi saat baru lahir. Pada umumnya, pemberian nama dipikirkan secara matang karena nama tersebut akan dipakai seumur hidup.
Dalam proses pemberian nama bayi ini, masyarakat Jawa memiliki pemikiran yang khas, baik itu yang menyangkut larangan atau hal-hal yang sebaiknya dilakukan untuk memberikan nama kepada bayi yang baru lahir. Salah satu di antaranya adalah bahwa nama memiliki dampak pada kondisi kesehatan sang bayi.
Apabila nama yang diberikan kepada bayi tidak cocok maka bayi bisa mengalami sakit-sakitan dalam waktu yang lama. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah kabotan jeneng (keberatan nama). Jika bayi mengalami kondisi tersebut maka namanya harus diubah. Orang Jawa percaya, bayi yang sakit-sakitan akibat kabotan jeneng akan pulih kesehatannya setelah namanya diganti.
Salah satu masyarakat yang masih mempercayai hal ini adalah masyarakat di Desa Kandung, Kecamatan Winongan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Warga Desa Kandung percaya, bayi akan mengalami kabotan jeneng jika ia tidak kuat memikul nama yang telah diberikan sehingga menyebabkan tubuhnya menjadi sakit terus-menerus.
Sang bayi tidak kuat memikul namanya bukan karena panjangnya nama yang dimilikinya, namun lebih karena makna yang terkandung dalam nama tersebut. Bisa juga karena nama tersebut tidak mempunyai makna sama sekali. Sebab itu, nama lahir yang dimiliki bayi harus diubah.
Seperti pada umumnya, masyarakat setempat juga percaya bahwa nama adalah harapan atau doa orangtua kepada anaknya. Masyarakat Desa Kandung memahami, nama bukan sekadar identitas pribadi seseorang. Nama juga dipahami sebagai doa, harapan, dan bahkan keberuntungan.
Sebab itu, tidak jarang orangtua harus bertanya kepada tokoh tertentu yang dianggap memiliki “kedekatan” dengan Tuhan Yang Maha Esa saat ia ingin memberi nama pada anaknya. Mereka berharap nama yang disematkan untuk buah hatinya dapat membawa berkah, menjadikan masa depannya lebih baik, serta membawa keberuntungan dan kesuksesan, baik di dunia maupun di akhirat.
Baca juga: Ritual Orang Jawa untuk Mendapatkan Anak yang Linuwih
Seiring dengan perkembangan zaman, nama yang diberikan kepada anak juga mengalami perkembangan. Saat ini, orangtua mempunyai jauh lebih banyak pilihan untuk menamai anaknya. Jika dulu nama yang diberikan hanya satu kata dan cenderung sangat kental dengan aksen Jawa, maka sekarang sudah tidak lagi.
Saat ini, masyarakat Desa Kandung cenderung memberikan nama lebih panjang pada anak mereka, rata-rata tiga kata. Nama yang diberikan juga menyerap dari beragam kebudayaan. Nama yang berbau Islam dan nama barat menjadi satu rangkaian nama.
Menurut masyarakat setempat, penggabungan nama ini bisa menyebabkan bayi mengalami kabotan jeneng. Hal ini terjadi pada bayi yang lahir pada bulan Desember 2018 dengan nama lahir “Raya Rizky Dhefiani”.
Sebenarnya nama yang diberikan tidak mengandung unsur dan makna yang berat. Nama itu mengandung unsur Islam dan gabungan dari nama orangtua bayi tersebut. Namun, pada saat menginjak usia sekitar tiga bulan, bayi yang dipanggil Raya tersebut sakit.
Awalnya Raya mengalami sakit yang wajar dialami oleh bayi seumurannya, yaitu demam. Beberapa hari kemudian keadaannya terus mengkhawatirkan sehingga dibawa ke rumah sakit. Dokter mendiagnosa bahwa Raya mengalami infeksi saluran pernapasan sehingga harus dirawat inap. Setelah dirawat beberapa hari dan keadaannya sudah pulih, Raya dibawa pulang ke rumahnya kembali.
Namun, beberapa hari kemudian, keadaan Raya kembali menurun drastis dan sangat mengkhawatirkan. Tubuhnya kembali panas, menangis terus-menerus, dan sangat rewel. Hingga akhirnya orangtuanya sepakat untuk membawa Raya ke tempat dukun suwuk yang dipercayai oleh keluarganya. Dukun suwuk tersebut berkata bahwa Raya dalam keadaan kabotan jeneng sehingga namanya harus diubah agar keadaannya pulih kembali.
Sebagai metode pengobatan tradisional, suwuk tidak asing bagi masyarakat Jawa. Ketika dirasa pengobatan medis tidak menunjukkan perkembangan, maka suwuk dijadikan pengobatan alternatif.
Pada suwuk ada berbagai metode pengobatan, seperti mengusap, menjilat, menyembur, menghembus, dan meminum dengan disertai membaca mantra atau jampi-jampi. Jampi-jampi atau mantra dalam suwuk berbau agama Hindu dan Islam. Biasanya, jampi-jampi tersebut merupakan gabungan dari bahasa Jawa, Sanskerta, dan Arab.
Dukun suwuk kemudian mengusap kepala Raya dengan air yang berisi rapalan doa serta membaca kalimat dalam bahasa Arab. Dukun suwuk kemudian menyarankan nama “Raya Rizky Dhefiani” diubah menjadi “Silvi Nurul Mukaromah”.
Menurut dukun suwuk, nama Silvi Nurul Mukaromah memiliki makna yang lebih ringan sehingga cocok bayi tersebut. Mengingat kondisi fisik sang bayi juga sangat kecil hingga nama yang diberikan juga harus ringan. Nama baru itu juga, sebut saja, “pasaran” dan kental dengan unsur Jawa dan Islam.
Orangtua sang bayi mengikuti saran dukun suwuk. Mereka percaya, ini adalah yang terbaik untuk kondisi bayi mereka.
Untuk mengubah nama, dilakukanlah ritual selametan ngganteni jeneng. Sebagai uborampe, disiapkanlah jenang abang atau bubur merah yang terbuat dari tepung beras ketan yang diwarnai dengan gula merah lalu ditambahkan santan kelapa.Tetangga sekitar rumah diundang untuk mendoakan supaya bayi tersebut selalu berada dalam keadaan yang sehat.
Maka sahlah nama bayi yang awalnya Raya diganti menjadi Silvi.
Ajaibnya, setelah namanya diganti, keadaan Silvi semakin hari semakin baik. Ia tidak lagi sakit-sakitan yang membuat orangtuanya khawatir.
Saat penelitian ini dibuat, Silvi sudah menginjak usia sepuluh bulan dan menjadi anak yang ceria. Walaupun ukuran tubuhnya tidak besar, namun Silvi sangat sehat. Orangtuanya bersyukur atas kondisi tersebut dan tidak lagi mengkhawatirkan keadaan Silvi.
Daftar Pustaka
- Haris, Abdul (2013). “Kabotan Jeneng: Mitos Mengubah Nama di Masyarakat Jember.” Jember: Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember.
- Yusdiawati, Y. (2013). “Suwuk: Etnografi tentang Pengobatan Tradisional Etnis Jawa di Desa Aek Loba Pekan Kec. Aek Kuasan Kab. Asahan.” Medan: Universitas Sumatra Utara.
Tutik Alawiyah
Mahasiswi Universitas Brawijaya
Kalo usia udah dewasa dan mau ngeganti nama, kayaknya jadi ribet, ya? saya beberapa kali disuruh ganti nama oleh dosen saya karena nama saya terbilang berat. tapi, kalo ngeganti, di usia 20an, itu bagaimana dgn nama panggilan yg sudah dikenal, ngurus perubahan identitas pula.
apa ada ajaran lain ttg beratnya nama dan solusi tanpa mengganti?