Marapu, Kepercayaan Asli Masyarakat Pulau Sumba

4350
marapu
Masyarakat di Kampung Adat Tarung masih memegang teguh tradisi Marapu, kepercayaan asli masyarakat Sumba. (Foto: backpackerjakarta.com)

1001indonesia.net – Marapu merupakan kepercayaan warisan nenek moyang masyarakat Sumba. Kepercayaan asli Nusantara itu masih lestari sampai saat ini, dan dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Sumba.

Marapu terbentuk dari dua kata, yakni mar dan apu. Kata mar berarti pencipta semesta dan sumber kehidupan, sementara apu berarti kakek. Marapu juga berarti yang dipertuan atau yang dimuliakan.

Inti ajaran kepercayaan warisan nenek moyang masyarakat Sumba itu adalah pemujaan terhadap arwah para leluhur. Mereka memiliki keyakinan, melalui arwah leluhur, manusia dapat berhubungan dengan Sang Pencipta. Masyarakat Sumba percaya bahwa para leluhur yang telah meninggal dunia dan berada dalam alam keabadian dapat berkomunikasi dengan Tuhan.

Kepercayaan asli ini masih terpelihara di Pulau Sumba sampai sekarang. Penganut Marapu umumnya hidup bersama di kampung-kampung adat. Umumnya, kampung adat berada di dataran rendah maupun bukit yang jauh dari pusat keramaian.

Rumah-rumah di kampung adat berbentuk rumah panggung dengan atap ilalang dan alas kayu. Ada dua jenis rumah di sana, yaitu rumah besar (uma kalada) dan rumah biasa (ana uma).

Uma kalada merupakan rumah pertama yang dibangun leluhur di sebuah kampung adat. Dalam sebuah kampung adat, ada lebih dari satu uma kalada. Rumah-rumah besar itu dihuni kabisu, atau keturunan nenek moyang suku yang memiliki tanah adat. Kepala suku yang disebut Rato tinggal di uma kalada bersama istri dan anaknya.

Sementara ana uma ditinggali oleh penganut kepercayaan Marapu yang lain. Walau tidak disebut rumah besar, sebenarnya ana uma memiliki bentuk dan ukuran yang sama dengan uma kalada.

Rumah-rumah di kampung adat berdiri sejajar mengelilingi sebuah pelataran. Pelataran itu merupakan tempat digelarnya upacara adat atau ritual keagamaan di waktu-waktu tertentu.

Penganut Marapu memiliki beragam ritual. Salah satunya Wulla Poddu, yaitu bulan suci bagi penganut Marapu. Wulla artinya bulan dan poddu berarti pahit. Disebut pahit karena sepanjang bulan ini semua warga harus berpantang terhadap sejumlah hal. Aturan tersebut harus dipatuhi oleh penganut Marapu.

Selama Wulla Poddu, penganut Marapu tidak boleh membangun rumah, mengadakan pesta apa pun, kalau ada yang meninggal dilarang pukul gong bahkan ditangisi, tidak boleh berhubungan badan dengan pasangan, dan tidak boleh memperbaiki rumah, terutama atapnya.

Selama bulan suci itu, penganut Marapu juga wajib berpuasa memakan daging babi dan anjing. Mereka diperbolehkan memakan sayur, daging ayam, dan nasi.

Ada beragam ritual yang digelar selama Wulla Poddu. Ritual-ritual itu ada yang bertujuan memohon berkah dan sebagai ungkapan rasa syukur. Ada pula yang bercerita tentang asal usul nenek moyang serta proses pembuatan dan kelahiran manusia pertama.

Wulla Poddu juga merupakan masa berburu babi hutan. Babi hutan yang pertama kali ditangkap biasanya dijadikan indikator hasil panen. Babi jantan, misalnya, dianggap sebagai pertanda panen yang baik. Sementara jika babinya menggigit orang berarti bakalan ada hama tikus.

Di bulan ini pula para pemuda yang telah akil balik menjalani proses sunatan. Selama beberapa hari, para pemuda yang telah akil balik itu akan diasingkan ke alam liar untuk hidup mandiri sebagai tanda kedewasaan.

Puncak perayaan Wulla Poddu selalu ditunggu dan disambut meriah. Momen itu sangat spesial sehingga orang-orang yang di perantauan akan pulang kampung untuk ikut merayakannya.

Ritual Marapu lain yang tak kalah unik adalah pasola, yaitu perang adat damai. Pasola merupakan adu ketangkasan melempar lembing kayu sambil mengendarai kuda. Saat pasola digelar, masing-masing suku akan berperang menggunakan kuda dan lembing kayu. Mereka akan dihadapkan satu sama lain untuk saling melempar lembing ke arah lawan.

Sekilas terdengar menyeramkan, pasola justru menjadi momen perekat hubungan kabisu masyarakat Marapu. Ritual yang digelar sebagai bentuk pemujaan terhadap roh para leluhur ini biasa dilakukan saat awal musim tanam tiba setiap tahun.

Pasola
Pasola merupakan ritual adu ketangkasan khas masyarakat Sumba sebagai upacara pemujaan terhadap dewa-dewa. (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Penganut Marapu juga memiliki tata cara pernikahan yang unik. Berdasarkan tradisi yang mereka warisi dari para leluhur, maskawin atau belis harus diberikan keluarga calon pengantin pria kepada keluarga calon pengantin wanita. Namun, belis yang diserahkan tidak murah harganya.

Keluarga calon pengantin pria biasanya diminta menyerahkan belis berupa puluhan hingga ratusan hewan, seperti kuda atau kerbau. Seserahan itu harus dibawa ke hadapan keluarga perempuan saat acara lamaran berlangsung.

Yang menarik adalah, jumlah belis yang banyak itu bisa dicicil bayarnya. Apabila belum mampu membayar semuanya, keluarga laki-laki bisa membawa sebagian dulu, misal 20 ekor hewan, beserta mamuli (perhiasan khas Sumba). Sisanya dibayar kemudian.

Lamaran biasa dilakukan sehari menjelang pernikahan. Upacara pernikahan dilakukan di kediaman calon pengantin perempuan.

Saat pernikahan berlangsung, keluarga mempelai pria dan perempuan saling menyiapkan juru bicara. Juru bicara berperan sebagai saksi yang harus menjadi penengah atau pemberi penjelasan jika suatu saat terjadi pertengkaran dalam rumah tangga kedua mempelai.

Setelah pernikahan sah secara adat, perempuan harus langsung ikut ke rumah laki-laki.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

eighteen − 6 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.