Mak Yong, Seni Pertunjukan Tradisional Khas Melayu

6842
Mak Yong
Pemain Mak Yong seusai pentas di Pulau Panjang, Kepulauan Riau. (Foto: KOMPAS/KRIS RAZIANTO MADA)

1001indonesia.net – Pertunjukan tradisional Mak Yong (atau Makyong atau Makyung) mencerminkan perpaduan beragam tradisi kebudayaan. Meskipun bukan asli Indonesia, Mak Yong menjadi bagian integral kehidupan pesisir Melayu. Pertunjukan drama tari ini pernah menjadi kesenian istana, tapi kemudian menyebar ke wilayah pedesaan, dinyanyikan dan ditarikan oleh orang biasa. Di masa kini, pertunjukan kesenian ini semakin langka dan terancam punah.

Asal-usul 

Tradisi pertunjukan teater Mak Yong berasal dari daerah Nara Yala, Pattani, Muang Thai bagian selatan pada abad ke-16 dan menyebar ke selatan melalui Semenanjung Melayu ke Singapura, Riau, Sumatra Utara, dan Kalimantan Barat.

Mak Yong layak disebut sebagai teater tradisional terindah karena menggabungkan banyak unsur pertunjukan, seperti drama, tari, musik, mimik, dan sebagainya. Hampir semua unsur kesenian Melayu ada di dalam Mak Yong. Aslinya, Mak Yong diperuntukkan bagi kelas atas di istana sultan, khususnya di Kelantan (sekarang Malaysia bagian timur laut) dan Riau Lingga, jantung peradaban Melayu hingga tahun 1700-an.

Di balik tembok istana, pemain dan pemusik Mak Yong dilatih, menggelar pertunjukan selama tiga atau empat jam setiap malam dan terus berlangsung selama seminggu.

Unsur Upacara

Pertunjukan Mak Yong bukan untuk menghibur semata, tapi juga bernilai religius dan sakral. Mak Yong digelar untuk memberi penghormatan kepada Yang Maha Kuasa. Karena sultan dan istrinya merupakan wakil-Nya, pertunjukan untuk sultan sebenarnya persembahan kepada Tuhan.

Bahkan, Mak Yong dianggap suci dan pertunjukan yang khas diawali dengan pembacaan doa oleh panjak atau bomoh (seorang pemain gamelan). Setelah berdoa, penari dan pemusik mengambil tempat masing-masing beralas tikar di panggung.

Setelah mereka duduk, sang panjak melemparkan butiran beras yang sudah dicuci dan dibakar yang merupakan salah satu sesaji di atas panggung. Selama upacara pembukaan tanah ini, tak seorang pun boleh lewat.

Setelah itu, sang penabuh gendang membacakan doa untuk memberi suara gaib kepada gendangnya, kemudian memercikinya dengan beras kuning.

Orang percaya apabila sang penabuh gendang bukan ahli sehingga tidak mampu membaca doa dengan benar bagi alat itu, bunyi gendangnya tidak akan menghasilkan kekuatan gaib apa pun. Suara gendang dipercaya memiliki kekuatan memikat orang untuk datang ke pertunjukan Mak Yong, membuat mereka meninggalkan apa pun yang sedang mereka lakukan untuk datang menonton pertunjukan. Suara gendang juga mampu memikat orang untuk ikut menari.

Di samping itu, gong, topeng, serta penari diperciki air suci. Penari yang berperan sebagai ratu (Mak Yong) dan putri (putri Mak Yong) memanjatkan doa, memberi sesaji yang akan memberi mereka kepercayaan diri, membuat mereka memiliki daya tarik yang kuat, dan mampu menguasai pertunjukan.

Di akhir pertunjukan, sang panjak membaca doa lagi untuk mengumumkan akhir pertunjukan dan minta dewa-dewa kembali ke surga mereka.

Kisah

Pada awal abad ke-20, dukungan kerajaan terhadap Mak Yong berkurang. Mak Yong menjadi bentuk kesenian desa yang dipertunjukkan sesekali untuk hiburan dan penyembuhan. Pemainnya adalah nelayan dan pedagang. Banyak kisah dalam Mak Yong menampilkan gaya hidup masyarakat jelata. Tokoh-tokohnya seolah sedang dalam perjalanan atau sedang melakukan pencarian.

Terdapat sekitar selusin kisah Mak Yong yang biasa diceritakan, merupakan warisan juru cerita istana Melayu saat kerajaan-kerajaan Melayu berkembang ke seluruh bagian terbesar semenanjung Malaka dan Muang Thai bagian selatan.

Lakonnya dipertunjukkan dalam bentuk prosa, tanpa naskah. Pemain dapat berbicara tanpa persiapan dalam kerangka umum, bahkan memperpanjang pertunjukannya. Jumlah pemain tergantung lakon, biasanya 15-20, belum termasuk pemusik.

Yang khas tentang Mak Yong adalah punakawan (pengasuh) yang mengenakan topeng dan wak petanda (seorang ahli ilmu perbintangan atau orang bijak lain) yang ada di mana-mana. Selain itu, aslinya semua peran dimainkan oleh perempuan, kecuali pelawak yang selalu diperankan oleh laki-laki. Pak Yong dan Mak Yong (peran utama laki-laki dan perempuan), raja, permaisuri, perdana menteri, dan yang lain diperankan oleh perempuan.

Pakaian

Pakaian Mak Yong luar biasa rumitnya. Raja dan kesatria Pak Yong mengenakan mahkota beludru, disulam, dan bertaburan permata. Kemeja dan celananya dari sutra kuning.

Permaisuri raja (Mak Yong), putri, dayang-dayang, dan penyanyi paduan suara mengenakan pakaian lebih bergaya Jawa daripada Melayu; baju kebaya dari sutera merah atau merah jambu, sarung dengan nuansa warna cokelat, ikat pinggang emas, dan selendang yang dipasang di bahu. Rambut dikonde dan dipasangi kuntum melati. Para putri mengenakan mahkota kecil.

Seperti para pemusik, kaum lelaki dalam rombongan itu mengenakan kemeja sati berwarna cerah, celana panjang, dan di kepala mereka peci beludru hitam bila sedang istirahat. Ketika naik ke panggung sebagai pelawak, mereka melepas pakaian, berkemeja katun lusuh, sarung berwiru gaya Melayu diikat dengan simpul besar di depan.

Pagelaran

Seluruh pemain duduk di pinggir daerah permainan: perempuan sebelah kanan, laki-laki sebelah kiri, alat musik ada di antara mereka. Musik paduan suara dan instrumental merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Mak Yong, tidak hanya penanda perubahan episode dan adegan.

Ada lagu untuk raja sedang menempuh perjalanan, saat seorang putri sedang berada di taman, atau saat suatu rahasia diungkapkan. Lagu berjumlah kira-kira 30; syairnya mempunyai daftar lebih panjang.

Orkesnya terdiri atas sekitar selusin alat; dua gendang berukuran ibu dan anak, beberapa tambur gedomba yang lebih kecil, gong dengan bermacam bentuk, canang, sebuah serunai, dan kadang-kadang rebab bersenar yang biasanya merupakan alat utama.

Gerakan tari yang lambat dari paduan suara sama pentingnya dalam Mak Yong. Mereka dapat menandai akhir adegan, ketika semua orang duduk dan salah satu pemain utama mengumumkan episode baru. Namun yang lebih memikat adalah gerakan tangan sang raja atau kesatria yang dibuat bergaya ketika membuat pengumuman.

Pemain yang memerankan raja mulai dengan menghadapkan telapak tangannya ke luar setinggi pinggang; mengangkat lengan atau tangan di atas bahu dianggap tidak sopan. tangannya melingkar ke dalam, keluar lagi dan berakhir dengan semua jarinya kecuali jempol bergeliat perlahan sekali. Gerakan itu bermakna: raja sedang mengeluarkan titah, atau kesatria sedang “menyerap kebaikan” dari luar dan “menolak kejahatan”.

Para lelaki tidak menari, tetapi melawak atau bergerak dengan cara yang aneh dan lucu, seperti menggoyang, meregang, dan meliuk-liukkan tubuh, jari tangan, dan jari kakinya. Kadang-kadang jongkok, lengannya terulur, seolah hendak berlari maraton. Sebetulnya, ia akan memulai perjalanan, turun naik “tangga” atau “gunung” dengan mengambil langkah berlebihan, mengayunkan lengan di sampingnya.

Mak Yong menggunakan sedikit peralatan panggung. Bilai, seikat batang bambu atau rotan, digunakan oleh aktris utama sebagai tongkat wasiat untuk memukuli punakawan, menunjukkan siapa raja (pangeran atau ratu) dan siapa si tolol.

Si tolol itu tertawa paling akhir dengan mengkritik atasannya dengan cara melucu, tetapi mereka tidak pernah mengejek.

Mak Yong Riau

Sampai saat ini, kesenian Mak Yong masih bertahan di Kelantan Malaysia. Di Indonesia, kesenian ini terdapat di Kepulauan Riau. Kekhasan Mak Yong Riau adalah penggunaan topeng terutama untuk pemain laki-laki seperti yang terjadi di tempat asalnya di Nara Yala, Pattani. Hal ini tidak terjadi pada Mak Yong Kelantan.

Di Indonesia, Mak Yong mengalami kejayaannya pada masa Kesultanan Riau-Lingga. Saat itu, kesenian ini dianggap sebagai kesenian istana dan mendapat dukungan penuh dari pihak istana. Setelah tak mendapat dukungan dari istana, kesenian ini kemudian menyebar di kalangan penduduk desa.

Sekarang, kesenian ini semakin jarang ditampilkan dan terancam punah.

*) Disadur dari Pudentia M. Purenti, “Mak Yong,” dalam John H. McGlynn dan Karin Johnson, Indonesian Heritage: Bahasa dan Sastra, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

fourteen + seven =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.