1001indonesia.net – Langlang Buana merupakan teater tradisional yang lahir dan tumbuh di Kepulauan Riau, tepatnya di Desa Kelanga, Kecamatan Bunguran Timur Laut, Kabupaten Natuna. Meski sekarang sangat jarang orang tahu tentang kesenian ini, dulu Langlang Buana merupakan salah satu kebanggaan masyarakat Natuna.
Menurut Zulkifli Harto, staf Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri, Langlang Buana pertama kali dicetuskan oleh Datok Kaya Wan Mohammad Benteng sekitar akhir abad ke-19. Beliau adalah penguasa yang memimpin daerah Ranai pada masa dulu.
Kelompok teater yang dipimpin oleh Datok Kaya Wan Mohammad Benteng secara spontan diberi nama Langlang Buana sesuai dengan nama tokoh sentral yang ada di dalam lakon sekaligus judul dari lakon itu sendiri.
Sejak wafatnya Datok Kaya Wan Mohammad Benteng, kepemimpinan teater ini diteruskan kepada anaknya yang bernama Datok Kaya Wan Mohammad Rasyid, seorang guru Sekolah Rakyat.
Ketika itu, hanya ada satu sekolah di pulau Ranai. Lokasinya di Desa Tanjung, tak jauh Desa Kelanga, tempat Datok Kaya Wan Mohammad Rasyid mulai mengajak dan melatih masyarakat setempat untuk terlibat di dalam pementasan teater tradisi Langlang Buana.
Pada masa kepemimpinan Datok Kaya Wan Mohammad Rasyid, pertunjukan teater tradisi Langlang Buana sangat digemari oleh masyarakat Ranai. Sekitar tahun 1946, kelompok teater tradisi ini telah melakukan pertunjukan berkeliling kampung.
Saat itu, masyarakat sangat antusias menyaksikan pertunjukan Langlang Buana, meski mereka harus berjalan kaki untuk datang ke pertunjukan. Pertunjukannya yang berlangsung tujuh malam selalu dipadati penonton.
Teater tradisi ini digelar tidak hanya di Pulau Ranai, tetapi sampai ke pulau-pulau lainnya, seperti Pulau Tiga, Kelarik, Sedanau, Midai danSerasan. Untuk sampai ke lokasi tujuan, para pemain menggunakan perahu kecil yang butuh waktu cukup lama.
Tak hanya itu. Mereka juga menggunakan dana sendiri untuk memenuhi kebutuhan pementasan dan akomodasi selama perjalanan. Setibanya di daerah tujuan, mereka melakukan pementasan secara sukarela tanpa memungut bayaran.
Setelah Datok Kaya Wan Mohammad Rasyid wafat, teater tradisi ini diteruskan salah satu muridnya yang bernama Pak Sahir. Teater kemudian dilanjutkan oleh Amar, Anwar, Bujang Isa, Darmawan, dan Hasyim.
Sepeninggal Pak Sahir, terjadi beberapa perubahan dan penyesuaian. Yang mulanya hanya dimainkan oleh kaum laki-laki, kaum perempuan boleh ikut bermain di dalam pertunjukan. Waktu pementasannya pun dipersingkat. Pertunjukan pada acara perkawinan hanya berlangsung selama satu malam saja. Sedangkan durasi pertunjukan untuk acara perayaan disingkat menjadi tiga malam.
Saat ini, teater tradisional Langlang Buana tidak lagi sepopuler dulu dan bahkan hampir tidak terdengar lagi oleh masyarakat luas. Salah satu sebabnya adalah hilangnya pendukung kesenian itu sendiri. Ditambah lagi dengan derasnya arus hiburan elektronik yang saat ini dengan mudahnya dapat diakses oleh masyarakat.
Sebagai upaya untuk melestarikannya, pemerintah melalui Kemdikbud telah menetapkan teater tradisi ini sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia dari Provinsi Kepulauan Riau pada 2016.
Selain itu, Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri juga menggelar kegiatan belajar bersama maestro (BBM) Langlang Buana di Ranai, Natuna, pada tanggal 4 hingga 7 September 2017. Kegiatan itu menghadirkan empat maestro Langlang Buana, yaitu Anwar, Ammmar, Dharmawan, dan Hasim.
Baca juga: Bapandung, Seni Teater Khas Masyarakat Banjar Hulu