1001indonesia.net – Ketoprak merupakan seni pentas drama tradisional Jawa. Seni pertunjukan ini diyakini berasal dari Surakarta pada awal abad ke-20 dan berkembang pesat di Yogyakarta. Oleh karena itu, kesenian ini sering disebut sebagai Ketoprak Mataram.
Seni ketoprak dipengaruhi oleh kesenian Komedi Stambul dan wayang orang. Komedi Stambul merupakan suatu pertunjukan yang memperlihatkan ciri gabungan dari kebudayaan Eropa, Timur Tengah, dan Melayu.
Awalnya, ketoprak yang merupakan tradisi masyarakat agraris Jawa menggunakan iringan lesung (tempat menumbuk padi) yang dipukul secara berirama sebagai pembuka, iringan saat pergantian adegan, dan penutup pertunjukan sehingga terkenal dengan sebutan Ketoprak Lesung.
Dalam perkembangannya, ketoprak kemudian menggunakan iringan gamelan Jawa, juga beberapa alat musik modern. Penggarapan cerita, kostum, serta tata panggung mengalami kemajuan dan menjadi lebih kompleks.
Kisah yang dimainkan dalam pertunjukan ketoprak bermacam-macam. Biasanya diambil dari cerita legenda atau sejarah Jawa, meski juga ada cerita fiksi. Banyak pula diambil cerita dari atau berseting luar negeri (yang terkenal adalah cerita Sampek Engtay).
Namun, tema cerita ketoprak tidak pernah diambil dari wiracarita Ramayana dan Mahabharata yang dipertunjukan dalam pegelaran wayang orang. Alur cerita dan bahasanya pun lebih cair dibandingkan pertunjukan wayang. Sebab itu, berbeda dengan wayang orang yang dianggap sebagai tontotan kalangan ningrat, ketoprak dikenal sebagai teater rakyat.
Pernah Dilarang
Kesenian teater tradisional ini pernah dilarang di lingkungan keraton. Sebabnya, ceritanya yang menggambarkan hubungan dekat keraton dengan pejabat Belanda dan cerita-cerita tentang perjuangan melawan penjajah dianggap menyindir penguasa yang memang dekat dengan penguasa penjajah Belanda masa itu. Meski dilarang di lingkungan keraton, pertunjukan ketoprak masih diadakan di desa-desa.
Kesenian ketoprak juga pernah meredup setelah peristiwa G30S 1965. Pada era sebelumnya, kesenian ini mengalami masa kejayaan. Ini membuat pertunjukannya kemudian menjadi alat propaganda politik.
Pemerintah Orde Baru yang ingin membersihkan sisa-sisa komunis kemudian banyak menangkap para seniman yang dianggap terlibat dalam propaganda itu. Banyak seniman yang ditahan. Sebagian lain merasa ketakutan sehingga tidak mau lagi menjadi pemain. Itulah yang membuat kesenian ini surut saat itu.
Namun, pada dekade 1970-an, seni pertunjukan ini bangkit kembali dan sangat digemari masyarakat Jawa. Pertunjukannya tak pernah sepi dari penonton. Ketoprak menjadi acara favorit di TVRI. Di desa-desa, kesenian rakyat ini digelar pada hampir setiap perayaan hari-hari besar, terutama pada hari kemerdekaan RI.
Sebab itu, lembaga-lembaga pemerintah di tingkat daerah kemudian menggunakan ketoprak sebagai sarana penerangan tentang cara hidup sehat, program Keluarga Berencana, dan Penataran Pancasila. Seni rakyat ini dianggap sebagai salah satu cara efektif dan efisien untuk menyampaikan program-program pemerintah.
Maraknya acara kesenian modern di televisi swasta sejak 1990-an membuat kesenian tradisional ini meredup. Pada era 2000-an, untuk menarik minat penonton, ketoprak dikemas menjadi tontonan populer di media televisi swasta.
Agar dapat diterima khalayak luas, beberapa penyesuaian dilakukan. Tembang-tembang klasik tidak lagi dimainkan, diganti dengan tembang-tembang yang lebih populer. Alur cerita diubah supaya lebih menarik, misal menempatkan dagelan sebagai pembuka. Namun, popularitas ketoprak di televisi swasta ini tidak bertahan lama.
Nasib ketoprak saat ini sama seperti nasib kesenian tradisional Nusantara lainnya, tidak menggembirakan. Kejayaan yang dialaminya pada beberapa dekade lalu tidak terasa lagi. Padahal selain sebagai hiburan, pertunjukan ketoprak merupakan rekaman peristiwa di Jawa masa silam yang baik sekali bagi sarana pembelajaran sejarah.