Kelenteng Poncowinatan, Rumah Ibadah bagi Tiga Agama

3395
Kelenteng Poncowinatan
Kelenteng Poncowinatan (Foto: pewartayogya.com)

1001indonesia.net – Kelenteng Poncowinatan berdiri sejak tahun 1881 atas bantuan Sri Sultan Hamengkubuwono VII, merupakan kelenteng tertua di Yogyakarta. Saat ini, kelenteng yang bernama asli Kelenteng Zhen Li Gong atau Tjen Ling Kiong ini telah ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya.

Tempat ibadah tiga agama (Khong Hu Cu, Buddha, dan Taoisme) ini didirikan dengan izin Sri Sultan Hamengkubuwono VII atas permintaan warga Tionghoa di Yogyakarta pada masa itu. Pihak Keraton Yogyakarta kemudian memberikan bantuan dengan menghibahkan lahan untuk digunakan sebagai lokasi pembangunan kelenteng. Pembangunan dimulai tahun 1881 dan selesai pada 1907.

Bersama dengan bangunan kelenteng, di atas lahan hibah tersebut juga didirikan Sekolah Dasar Tionghoa modern bernama Tiong Hoa Hak Tong (THHK) yang menginduk pada Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia, berdasarkan Akta Pendirian No. 24 tanggal 19 Juni 1907.

Namun, di waktu kemudian, pemerintah kolonial Belanda menganggap sekolah ini berbahaya karena membangkitkan rasa nasionalisme. Untuk mematikan kegiatan THHT, Belanda membangun sekolah tandingan yang diberi nama Holland Chinesche School (HCS). Rencana Belanda berhasil, THHT tidak mampu bersaing dengan sekolah bentukan pemerintah kolonial dan membubarkan diri sekitar tahun 1940. Kini bangunan bekas THHK digunakan oleh Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Nasional (YPPN).

Bentuk fisik bangunan dan ornamen di dalam kelenteng yang dikelola oleh Yayasan Bhakti Loka ini sangat unik. Bangunan kelenteng berbentuk persegi panjang yang melebar ke samping. Atap kelenteng berbentuk Ngang Shan dengan dua patung naga Liong yang saling berhadapan dan bola api di tengahnya. Seluruh bangunan bernuansa merah dan emas. Menurut tradisi Tionghoa, warna ini melambangkan semangat menuju hidup makmur sentosa dan kaya raya.

Di dalam kelenteng terdapat 17 altar pemujaan. Altar utama berada di bangunan utama, yaitu altar Dewa Kwan Kong (Dewa Perang). Bangunan di sebelah barat untuk altar pemujaan umat Taoisme. Bangunan di sebelah timur untuk altar pemujaan umat Buddha. Bangunan di sebelah utara untuk umat Khong Hu Cu.

Foto: yogyakarta.panduanwisata.id
Foto: yogyakarta.panduanwisata.id

Pada saat Imlek dan Cap Go Meh, kelenteng ini ramai dikunjungi umat Khong Hu Cu. Biasanya digelar bakti sosial pembagian sembako bagi fakir miskin, juga pertunjukan Barongsay dan Liong.

Yang menarik, setiap perayaan Imlek, Kelenteng Poncowinatan mengelar tumpeng merah putih untuk didoakan bersama-sama. Tradisi tumpeng yang tidak ada dalam budaya Tionghoa ini menggambarkan akulturasi masyarakat Tionghoa dengan budaya Jawa yang terjadi dengan harmonis.

Keramaian juga terjadi saat hari besar agama Buddha, seperti Waisak, Khatina, Asadha, dan Magha Puja. Umat yang datang bisa mencapai ratusan orang. Di hari biasa, lokasi kelenteng sangat lengang.

Untuk beribadah di kelenteng, pengunjung diwajibkan melepas sandal atau sepatu, memberi hormat dan berdoa kepada Thian (Tuhan), dan berdoa ke altar tuan rumah, yaitu Dewa Kwan Kong. Kemudian menuju altar yang sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing.

Di hari biasa kelenteng buka pukul 08.00 dan tutup pukul 17.00, sedangkan pada hari raya buka 24 jam. Tersedia areal parkir yang luas. Juga tersedia perlengkapan sembahyang, seperti lilin, uang kertas, dan hio.

Lokasi kelenteng mudah ditemukan karena berada di pusat kota Yogyakarta, tepatnya di utara tugu. Dari bandara Adisucipto bisa ditempuh dalam waktu 10 menit dengan kendaraan, melalui jalan Solo ke arah barat hingga Tugu, lalu ke arah utara masuk Pasar Kranggan. Kelenteng ini berada di utara pasar.

Bangunan Kelenteng Poncowinatan memperoleh “Penghargaan Pelestarian Warisan Budaya 2005” dengan kategori “Bangunan Ibadah'”. Penghargaan tersebut ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada 20 Desember 2005.

Pada 2010, Kelenteng Poncowinatan ditetapkan sebagai salah satu Bangunan Cagar Budaya (BCB) yang dimiliki Kota Yogyakarta melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.07/PW.007/MKP/2010. Peraturan ini ditandatangani oleh Jero Wacik selaku Menteri Kebudayaan dan Pariwsata saat itu.

Sumber:

  • Gagas Ulung, Wisata Ziarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013.
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Tjen_Ling_Kiong
  • http://pecinanjogja.blogspot.co.id/p/apalah.html

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

thirteen + seven =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.