1001indonesia.net – Kelenteng Boen Tek Bio berdiri kokoh di antara deretan lapak pedagang di Pasar Lama, Kota Tangerang. Bangunan utamanya berwarna merah. Di sisi kiri dan kanannya terdapat bangunan berwarna kuning dengan kombinasi hijau-merah.
Dari tempat ini, sekitar 100 meter ke arah barat mendekati sungai Cisadane terdapat bangunan kokoh lainnya, yaitu Masjid Kalipasir yang berwarna hijau.
Bangunan Kelenteng Boen Tek Bio awalnya milik tuan tanah. Kelenteng ini diperkirakan berdiri tahun 1684 atau lima tahun sebelum Kelenteng Boen San Bio di Pasar Baru berdiri. Pada 1912, perkumpulan Boen Tek Bio berdiri hingga sekarang.
Pada 1615, Tumenggung Pamit Wijaya dari Kesultanan Cirebon singgah di Kota Lama Tangerang lalu membangun masjid yang kemudian dikelola Raden Bagus Uning Wiradilaga.
Etnis Tionghoa sudah lama menempati daerah Kalipasir, bahkan sebelum Kelenteng Boen Tek Bio berdiri. Saat ini, penduduk di Kalipasir terdiri atas beragam suku, seperti Jawa, Madura, Tionghoa, dan Sunda.
Keberagaman etnis penduduk kawasan ini tampak pada gaya bangunan Masjid Kalipasir yang merupakan perpaduan dari gaya Arab, Tionghoa, Jawa, dan Eropa.
Mahkota pada puncak atap dan bentuk menara masjid menunjukkan kemiripan dengan karya seni arsitektur Arab (Persia) dan dipengaruhi karya seni Tionghoa. Pengaruh seni Tionghoa sangat kentara pada menara masjid yang berbentuk pagoda China.
Ini menandakan eratnya hubungan antara orang Tionghoa dan orang muslim di Pasar Lama. Bahkan orang-orang yang dipekerjakan untuk membangun masjid Kalipasir adalah orang-orang yang bekerja di Kelenteng Boen Tek Bio.
Saat pembangunan kelenteng, pekerja didatangkan dari China. Pekerja itu juga yang natinya diperbantukan membangun masjid.
Kehadiran Kelenteng Boen Tek Bio dan Masjid Kalipasir—dua dari Sembilan cagar budaya di Kota Tangerang—menjadi simbol kerukunan dalam keberagaman. Kehidupan damai dan harmonis dalam masyarakat yang beragam telah tercipta sejak zaman dulu, dan masih terjaga hingga saat ini.