1001indonesia.net – Di pusat kota Manado, bediri dengan megah Kelenteng Ban Hin Kiong. Kelenteng yang namanya mempunyai arti “istana penuh berkah” ini menjadi bukti keberagaman masyarakat di ibu kota Provinsi Sulawesi Utara. Dibangun pada 1819, bangunan suci ini menjadi kelenteng tertua di Manado.
Pada awal berdirinya, kelenteng ini sangat sederhana, terbuat dari papan dan bambu. Seiring berjalannya waktu dan jumlah etnis Tionghoa di Manado yang semakin berkembang, maka kelenteng tersebut dibangun lebih besar dalam bentuk permanen dan terus mengalami perkembangan hingga saat ini.
Kelenteng Ban Hin Kiong terletak di Jl. DI Panjaitan, Manado, Sulawesi Utara, yang merupakan pusat China Town. Di kawasan ini masih banyak tempat-tempat suci, kuil, rumah-rumah dan pasar milik etnis Tionghoa.
Sejak 1935, Kelenteng Ban Hin Kiong mulai dikelola melalui suatu organisasi perkumpulan Sam Khauw Hwee. Organisasi tersebut didirikan atas usaha dan inisiatif dua orang tokoh, yakni Yo Sioe Sien dan Que Boen Tjen.
Bangunan kelenteng ini sempat hancur dua kali. Pertama, akibat Perang Dunia II pada 1944. Sedangkan yang kedua akibat peristiwa pembakaran pada 14 Maret 1970 oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Kelenteng Ban Hin Kiong adalah kelenteng Tri Dharma, yaitu kelenteng yang digunakan sebagai tempat beribadah bagi penganut Kong Hu Cu, Tao dan Buddha. Sampai saat ini, bangunan kelenteng yang telah berusia ratusan tahun ini masih terawat dengan baik.
Dengan arsitektur China klasik, kelenteng ini mempunyai desain yang sangat unik. Pintu masuk kelenteng dijaga oleh sepasang patung singa. Terdapat ukiran sepasang naga yang melilit pilar kelenteng.
Pintu utama yang berada di tengah bangunan biasanya ditutup dengan pagar bambu sebagai tanda tidak boleh masuk. Biasanya pintu ini hanya dibuka saat ada acara-acara tertentu. Pada hari biasa, pengunjung bisa masuk melalui pintu samping.
Di dalam kelenteng, ada sebuah altar dengan ornamen patung orang suci yang mengenakan pakaian perang yang indah. Di lantai dua, terdapat altar Tri Nabi Agung, yaitu Lao Tze, Buddha, dan Kong Hu Cu. Ada juga beberapa ornamen dan patung dewa yang sebagian khusus didatangkan dari daratan Tiongkok.
Pada panel tengah di dinding bagian belakang, terdapat ukiran yang melukiskan seorang anak yang sedang memetik buah, didampingi orang tua yang berdiri di sampingnya. Ini merupakan simbol yang bermakna “siapa yang menanam akan menikmati buahnya.”
Di lantai tiga Kuil Ban Hin Kiong, tersimpan dua buah meriam antik berukuran sedang. Konon meriam tersebut merupakan hadiah dari VOC. Logo dan tahun pembuatannya masih tertera dengan sangat jelas pada batang meriam. Meriam tertua dibuat pada 1778. Di bagian tengah ruangan masih terdapat satu meriam antik yang berukuran lebih kecil.
Kelenteng ini memiliki sejumlah acara tahunan. Saat terbaik untuk mengunjungi kelenteng adalah di bulan Februari, saat perayaan Imlek, Cap Go Meh, dan Toa Peh Kong. Pada saat itu, berbagai pertunjukan menarik dan parade dipertontonkan untuk menghibur masyarakat setempat dan wisatawan.
Biasanya ada pertunjukan Barongsai, Ince Pia (sejenis pertunjukan kekebalan tubuh), Pikulan (kereta yang didekorasi dengan simbol-simbol agama), dan Kuda Lo Cia. Kegiatan ini merupakan tradisi Tiongkok yang dibawa orang-orang Tionghoa yang bermigrasi ke Sulawesi Utara. Tarian tradisional Manado, Kabasaran, yang diiringi oleh kelompok penari Tionghoa ikut juga mewarnai perayaan.