Keberagaman sebagai Fondasi Kecerdasan Kolektif

26
Sekolah Adat Samabue
Kegiatan belajar di Sekolah Adat Samabue di Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. (Foto: KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA)

1001indonesia – Dalam suatu pembelajaran ruang kelas, seorang guru menunjuk peta Indonesia sambil bertanya, “Apa yang membuat bangsa kita kuat?” Para siswa menjawab: “Karena kita punya banyak suku,” “Karena Bhinneka Tunggal Ika,” atau “Karena alamnya kaya.” Hampir tak ada yang menjawab, “Karena cara berpikir kita yang berbeda-beda.”

Inilah paradoks kita dalam memandang keberagaman. Dalam pendidikan, diversity kerap dimaknai sebatas perbedaan demografis (suku, agama, bahasa) sebagaimana tercermin dalam kurikulum pendidikan multikultural.

Padahal, ada jenis keberagaman lain yang lebih mendasar, yakni keberagaman kognitif (cognitive diversity). Berbagai kajian di bidang manajemen dan organisasi menunjukkan, perbedaan dalam cara memandang, menafsirkan, dan memecahkan masalah justru memperkaya strategi berpikir dan meningkatkan kemampuan tim menyelesaikan persoalan kompleks.

Tantangan di Indonesia berlapis. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 mencatat capaian siswa Indonesia masih rendah dalam membaca (359), matematika (366), dan sains (383), jauh di bawah rata-rata OECD.

Lebih mengkhawatirkan lagi, 68 persen siswa memiliki fixed mindset terhadap kreativitas, dan 35,4 persen menolak anggapan bahwa kecerdasan dapat berkembang. Angka-angka tersebut menandakan rendahnya keterbukaan terhadap ide baru—prasyarat penting bagi tumbuhnya keberagaman cara berpikir di ruang kelas.

Mesin Inovasi dari Perbedaan

Sejarah menunjukkan bahwa kemajuan lahir dari keterbukaan terhadap gagasan baru. Nusantara, sejak berabad-abad silam, bukan hanya persimpangan jalur rempah, tetapi juga titik temu beragam tradisi pemikiran.

Dalam karya monumentalnya Southeast Asia in the Age of Commerce 1450–1680, sejarawan Anthony Reid menggambarkan Asia Tenggara sebagai kawasan yang diperkaya oleh interaksi lintas budaya—pertukaran keahlian, teknologi, dan nilai—yang sama pentingnya dengan perdagangan komoditas. Di pelabuhan-pelabuhan besar, para pedagang, pelaut, dan cendekiawan membawa bukan hanya barang, tetapi juga pengetahuan yang melintasi batas geografis dan bahasa.

Prinsip yang sama berlaku di ruang kelas masa kini. Penelitian tentang cooperative learning menunjukkan, kelompok belajar yang beranggotakan siswa dengan kemampuan beragam cenderung mencapai pemahaman yang lebih mendalam, terlibat aktif dalam diskusi, dan mengembangkan keterampilan sosial yang lebih kaya dibandingkan kelompok homogen.

Dalam keragaman kemampuan itu, ada kekuatan yang sulit ditandingi:

  1. Memecah ruang gema. Bertemu dengan pandangan yang berbeda menantang kita untuk keluar dari lingkaran keyakinan sendiri. Paparan ini mengurangi kecenderungan hanya mencari bukti yang menguatkan pendapat pribadi, sekaligus mendorong siswa meninjau ulang cara mereka memahami dunia.
  2. Memperkaya cara memecahkan masalah. Seperti banyak jalan menuju Roma, setiap siswa membawa “peralatan” mental yang unik. Perbedaan ini memperluas pilihan strategi, sehingga persoalan yang sama bisa didekati dari berbagai arah dan menghasilkan solusi yang lebih kreatif.
  3. Menumbuhkan empati intelektual. Berhadapan dengan perbedaan sudut pandang menumbuhkan kesadaran bahwa kebenaran kerap bersifat majemuk. Pemahaman ini membentuk cara pandang yang lebih terbuka dan menghargai keberagaman.

Namun, potensi ini tidak muncul dengan sendirinya. Sistem pendidikan yang terlalu berpusat pada ujian baku (standardized testing) sering kali memandang variasi cara berpikir sebagai “penyimpangan” yang perlu distandardisasi. Akibatnya, jalur-jalur berpikir alternatif—yang justru bisa menjadi sumber inovasi—terpinggirkan.

Jika sejarah pernah membuktikan bahwa pertukaran ide mampu menggerakkan peradaban, maka tugas pendidikan hari ini adalah memastikan ruang kelas tetap menjadi pelabuhan ide, bukan gerbang yang menyeragamkan.

Guru sebagai Dirigen Keragaman

Di ruang kelas, keragaman hadir setiap hari, kadang tampak di permukaan, kadang tersamarkan dalam diam. Ada siswa yang cepat menangkap pelajaran, ada yang butuh waktu. Ada yang penuh ide namun ragu bersuara, ada pula yang lantang tetapi kurang mendengar. Semua adalah “nada” yang, bila diarahkan dengan tepat, bisa membentuk harmoni pembelajaran. Dan dirigen dari harmoni itu adalah guru.

Menjadi dirigen berarti memimpin tanpa meniadakan suara unik tiap pemain. Salah satu cara yang lembut sekaligus efektif adalah melalui thinking routines dari Project Zero (Harvard). Pola sederhana seperti See–Think–Wonder mengundang setiap anak untuk mengamati, menafsirkan, lalu bertanya. Dari satu foto, data, atau bait puisi, bisa muncul pandangan-pandangan yang tak terduga. Bila dilakukan secara rutin, kebiasaan ini mengajarkan bahwa setiap perspektif adalah pintu menuju pemahaman yang lebih luas.

Keragaman juga butuh ruang yang adil untuk bersuara. Partisipasi berbobot memberi peluang itu. Keaktifan tidak lagi diukur dari banyaknya bicara, melainkan dari makna kontribusi—apakah ia memperkuat argumen teman, menguji asumsi, atau menyatukan pandangan berbeda. Di sini, anak yang pendiam sekalipun bisa bersinar, karena yang dihargai adalah ketajaman berpikir, bukan kerasnya suara.

Namun, ruang aman untuk berpendapat tak akan tumbuh bila kesalahan dianggap aib. Data PISA 2018 mencatat, 59 persen siswa Indonesia khawatir akan pandangan orang lain jika gagal, dan 41 persen pernah mengalami perundungan beberapa kali sebulan. Angka ini adalah peringatan: tanpa keberanian untuk salah, anak-anak akan segan mencoba hal baru. Padahal, penelitian neurosains menunjukkan otak justru belajar lebih baik ketika memproses kesalahan—dengan syarat, kesalahan itu disambut sebagai peluang belajar, bukan bahan ejekan.

Dari sini, tugas guru adalah menciptakan kelas yang mengizinkan kegagalan terukur. Ada yang menyebutnya “85 percent rule”: belajar paling efektif terjadi ketika tantangan cukup sulit untuk memicu sebagian kesalahan, tapi tidak membuat siswa menyerah. Ini ibarat melatih nada—tidak terlalu mudah hingga membosankan, tidak terlalu sulit hingga mematahkan semangat.

Memang, guru tak bekerja di ruang hampa. Kurikulum padat dan budaya ujian jawaban tunggal kerap membatasi ruang eksplorasi. Namun, ada dua cara sederhana yang bisa membuka pintu. Pertama, pembelajaran berselang-topik (interleaved learning), yang mencampur materi secara terencana agar siswa belajar memindahkan pengetahuan ke situasi baru. Kedua, asesmen formatif berbasis proyek, yang menilai proses berpikir—mulai dari merumuskan pertanyaan, menguji hipotesis, hingga merevisi argumen—bukan hanya jawaban akhir.

Pada akhirnya, menjadi dirigen bukan berarti menyeragamkan semua nada. Justru sebaliknya, tugas guru adalah mengarahkan perbedaan agar saling mengisi. Rutinitas berpikir membantu menata dialog, partisipasi berbobot memberi makna pada setiap suara, dan iklim ramah kesalahan memupuk keberanian. Ketiga hal ini dapat mengubah kelas menjadi laboratorium ide, tempat keberagaman cara berpikir bukan dianggap beban yang harus diluruskan, melainkan sumber tenaga yang menggerakkan kita maju.

Menuai Dividen Kognitif

Pada 2045, Indonesia diproyeksikan mencapai puncak bonus demografi—saat jumlah penduduk usia produktif berada pada titik tertinggi. Namun, angka itu hanya akan menjadi deretan statistik jika tidak diiringi dengan cognitive dividend: kemampuan warganya berpikir kritis, kreatif, dan mampu bekerja sama di tengah perbedaan.

Filsuf Rabindranath Tagore pernah menulis, “Pohon adalah bumi yang berusaha mencapai langit.” Keberagaman kognitif ibarat akar yang menghunjam dalam, memberi kekuatan bagi pohon peradaban untuk tegak menghadapi badai polarisasi dan perubahan yang cepat. Tanpa akar itu, pohon mungkin tumbuh, tetapi rapuh; mudah tumbang meski daunnya rimbun.

Di ruang kelas, akar itu ditanam setiap hari. Ketika guru memberi ruang bagi pertanyaan yang berbeda, ketika kesalahan disambut dengan rasa ingin tahu, ketika suara yang pelan sekalipun mendapat tempat di tengah riuh, saat itulah bibit cognitive dividend tumbuh. Hasilnya mungkin tidak langsung tampak di rapor, tetapi akan terasa ketika anak-anak ini kelak mampu merangkai ide, menengahi perbedaan, dan mencipta solusi yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.

Di tangan guru yang memahami seni mengelola perbedaan, kelas tak lagi menjadi penjara pikiran. Ia berubah menjadi taman tempat ide bersemi—taman yang akarnya kuat, cabangnya menjulur luas, dan buahnya adalah kecerdasan kolektif. Buah itulah modal paling berharga bagi Indonesia untuk tidak sekadar menghadapi dunia yang berubah, tetapi ikut membentuknya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

14 + 18 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.