Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

1867
Ilustrasi

1001indonesia.net – Hubungan antara agama dan negara di Indonesia masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Sebagai negara yang berlandaskan pada Pancasila, Indonesia sebenarnya sudah mengambil posisi yang jelas. Di satu sisi, Indonesia bukan negara agama yang mendasarkan diri pada agama tertentu. Kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin oleh konstitusi.

Di sisi lain, Indonesia bukanlah negara sekuler yang meniadakan nilai-nilai agama dalam kehidupan politik. Agama tetap memainkan peran dalam kehidupan publik bangsa Indonesia. Nilai-nilainya menjadi sumber bagi keadaban masyarakat Indonesia.

Dengan demikian, yang terjadi di Indonesia bukanlah pemisahan negara dan agama, namun adanya pembedaan peran. Hal tersebut bisa dilihat dari pandangan Mohammad Hatta (Agama dan Negara, 1945) berikut ini:

Kita tidak akan mendirikan negara dengan dasar perpisahan antara agama dan negara, melainkan kita akan mendirikan negara modern di atas dasar perpisahan antara urusan agama dengan urusan negara. Kalau urusan agama juga dipegang oleh negara, maka agama menjadi perkakas (diperalat) negara, dan dengan itu hilang sifatnya yang murni.

Idealnya, dalam hubungan seperti yang dimaksud oleh Wakil Presiden pertama Indonesia di atas, negara tidak mencampuri urusan keagamaan warganya. Di sisi lain, negara wajib menjamin kemerdekaan warganya untuk memeluk agama dan kepercayaannya serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, seperti yang diungkapkan Sukarno dalam pidatonya di depan sidang BPUPK pada 1 Juni 1945 berikut:

Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi, marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!

Pandangan Sukarno ini sangat baik dalam menggambarkan bagaimana seharusnya bangsa Indonesia ke depan. Di satu sisi, Sukarno menyadari sikap religius bangsa Indonesia, dan pentingnya nilai-nilai agama dalam kehidupan publik.

Namun, Sukarno juga tidak mau bangsa Indonesia terjebak dalam egoisme agama yang sempit, yaitu menganggap agamanya yang paling benar dan memaksa pihak untuk sejalan dengannya. Sukarno ingin bangsa Indonesia “ber-Tuhan secara kebudayaan,” yang dengan teguh memegang dan melaksanakan ajaran agamanya sekaligus mampu menghargai perbedaan.

Jadi, founding fathers kita ingin mendirikan sebuah negara yang dibangun di atas kearifan nilai-nilai agama sekaligus mampu menghargai dan menghormati keragaman yang ada. Kesadaran akan pentingnya nilai-nilai agama ini juga yang membuat negara merasa wajib untuk melindungi dan memfasilitasi warganya sehingga “tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa”.

Itu sebabnya, Sukarno memasukkan Ketuhanan sebagai salah satu dari 5 sila yang menjadi dasar berdirinya negara Indonesia. Nilai Ketuhanan yang dimaksud Sukarno adalah nilai yang universal. Nilai itu tidak merujuk pada agama tertentu, tetapi merangkul semua agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia.

Namun, pada praktiknya, nilai ideal itu sulit untuk dilaksanakan. Benturan akibat perbedaan tetap terjadi sampai saat ini. Dan, benturan yang melibatkan agama paling sulit untuk didamaikan karena melibatkan paham religius yang kebenarannya dianggap mutlak oleh para pemeluknya.

Belum lagi persoalan mayoritas-minoritas. Seperti yang diungkapkan oleh Trisno Sutanto (2016), dari sejak proses pendirian negara sampai saat ini, bangsa kita masih dihadapkan pada masalah, “bagaimana membangun tatanan kenegaraan yang mampu menempatkan posisi penting Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk, namun sekaligus juga memberi ruang bagi kelompok-kelompok keagamaan yang lain sehingga tidak terjadi
praktik diskriminatif.”

Pada ranah politik, terjadi politik agama yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis untuk menafsirkan sila Ketuhanan hanya merujuk pada paham keagamaan tertentu. Penafsiran inilah yang kemudian mengeksklusi agama-agama lokal dan memunculkan pembedaan antara agama yang “diakui secara resmi” oleh negara dan yang tidak.

Padahal, seperti yang diuraikan di atas, dengan prinsip Ketuhanan, Sukarno ingin merangkul semua paham Ketuhanan yang ada di Indonesia. Artinya, negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan memberi tempat bagi seluruh kelompok agama tanpa kecuali.

Saat ini, penggunaan agama oleh pihak-pihak tertentu (selain negara) untuk tujuan di luar nilai-nilai agama juga semakin marak. Alih-alih menjadi penengah yang baik dan menyelesaikan masalah, aparat negara sering kali mengikuti arus massa dan tak mampu melindungi golongan minoritas dari tindakan diskriminatif. Kaum minoritas bahkan sering dikambinghitamkan sebagai sumber “keresahan” masyarakat sehingga perlu “dibina”.

Beranjak dari permasalahan yang ada saat ini, keinginan para pendiri bangsa kita untuk membangun bangsa yang mampu menampung dan melindungi seluruh keragaman yang ada rasanya masih menemui banyak tantangan.

Apa yang perlu kita lakukan adalah dengan membuka sebanyak mungkin ruang perjumpaan dan dialog untuk membangun kesalingpahaman dan pengertian antarumat agama. Bangsa ini juga perlu untuk terus diingatkan kembali mengenai semangat yang diusung para pendiri bangsa. Untuk itu, semua lapisan masyarakat, terutama kaum terdidiknya, perlu bersuara. Konon katanya, kejahatan akan berkuasa manakala orang-orang baik tidak melakukan apa-apa.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

10 − 8 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.