1001indonesia.net – Berkumpul bersama teman-teman setelah sekian lama tak bertemu akibat pandemi sungguh menyenangkan. Tak terasa sudah pukul 2 dini hari ketika kami menyudahi perbincangan dan pulang ke rumah masing-masing.
Kala itu perbincangan yang paling hangat adalah tentang sejarah. Salah satu teman kebetulan sedang menemukan kesenangan baru di tengah pembatasan sosial ini, yaitu menonton YouTube tentang sejarah Indonesia.
Dari salah satu video, ia mendapatkan informasi bahwa Sidharta Gautama sebenarnya bukan orang India, tapi asli dari Jawa. Sebab, nama Dharta atau Darto jelas bukan nama orang India, tapi nama orang Jawa.
Dan, ia begitu saja memercayai informasi itu tanpa mendalaminya lebih lanjut.
Tentu saja, penerimaan lugu teman saya terhadap informasi dari YouTube itu segera memunculkan sanggahan dan perdebatan dari teman-teman yang lain.
Di sini saya tidak akan berbicara mengenai apakah informasi itu layak atau tidak untuk dipercaya. Bagi saya apa yang terjadi kala itu memunculkan suatu hal yang menarik untuk dibahas, yaitu bagaimana kita mengolah informasi yang kita dapatkan dari berbagai sumber.
Pada umumnya kita cenderung mempercayai secara tidak kritis informasi-informasi yang mendukung apa yang kita percayai, dan menentang yang tidak mendukung atau berlawanan dengan keyakinan kita.
Teman saya bisa percaya informasi yang ia dapatkan itu tanpa pendalaman lebih lanjut semata karena mendukung apa yang ia yakini. Ia sangat percaya bahwa Jawa adalah bangsa yang besar di masa silam dan menjadi sumber bagi kemajuan peradaban-peradaban lain di sekitarnya.
Bangga akan kebesaran nenek moyang kita di masa lalu tentu saja baik dan perlu. Namun, jangan sampai kita punya kebanggaan yang sifatnya semu.
Kebanggaan semu lahir dari identitas diri dan menjadi bagian dari pembesaran ego pribadi. Kita bangga terhadap Indonesia semata karena Indonesia merupakan bagian dari identitas kita. Dalam hal ini, mengangkat nama Indonesia menjadi bagian dari gengsi pribadi.
Karena menjadi bagian dari gengsi pribadi, kebanggaan itu tidak berasal dari pemahaman yang mendalam atas sejarah dan budaya bangsa. Beragam informasi dengan gampang dipercayai tanpa nalar kritis, asal mendukung apa yang diyakini.
Kebanggaan semu membuat orang tenggelam pada kebesaran masa lalu. Sangat disayangkan, meski biasanya mendaku mengerti sejarah, orang yang terjangkiti kebanggaan semu umumnya tidak mempelajari sejarah dengan benar.
Tujuan belajar sejarah adalah untuk membantu kita mengenali kehidupan kita di masa kini. Persis seperti fungsi kaca spion yang bukan untuk membuat kita terus melihat ke belakang, tetapi untuk membuat perjalanan kita ke tujuan (yang tentunya ada di depan) menjadi lebih aman.
Dalam mempelajari sejarah, orang-orang yang terjangkiti kebanggaan semu hanya mau menerima cerita yang baik-baik saja tentang bangsanya dan tutup mata dengan hal-hal yang buruk. Padahal nenek moyang kita juga manusia, yang bisa membuat hal yang menakjubkan sekaligus juga mengalami banyak kegagalan dan melakukan kesalahan.
Karena itu, ia tidak memahami sejarah bangsanya sebagaimana adanya. Sebaliknya, ia akan menciptakan sebuah bangsa yang “ideal” dalam imajinasinya yang ia percayai sebagai sesuatu hal yang sungguh-sungguh nyata.
Dengan demikian, yang dibanggakan oleh orang-orang yang terjangkiti kebanggaan semu bukanlah bangsa yang konkret. Sebuah bangsa yang terdiri atas manusia yang berdarah dan berdaging dengan segala lika-liku sejarahnya.
Bangsa yang ia banggakan merupakan bangsa semu yang hidup dalam imajinasinya.
Akibatnya, orang-orang yang terjangkiti kebanggaan semu tidak akan memahami kehidupan bangsanya sebagai mana adanya dengan persoalan dan tantangan di dalamnya. Dan, karena itu, umumnya mereka juga tidak akan terlibat dalam upaya membenahi dan memajukan bangsanya.
Sebaliknya, karena hidup di masa lalu yang fiktif, umumnya mereka justru menjadi pihak yang anti perubahan. Mereka akan berupaya mempertahankan nilai-nilai dan tatanan lama. Meski nilai-nilai itu tidak lagi relevan dan tatanan itu sudah menjadi sumber penderitaan bagi orang banyak.
Dengan kata lain, alih-alih menyelesaikan masalah, orang yang terjangkiti kebanggaan semu justru adalah orang yang merawat masalah itu untuk terus ada.
Jika kita betul-betul bangga akan kebesaran nenek moyang kita, maka sudah sepatutnya kita berusaha mengenal mereka dengan lebih baik.
Kebanggaan terhadap bangsa sendiri ataupun rasa cinta akan tanah air semestinya lahir dari pemahaman yang mendalam. Karena hanya dengan demikian, rasa bangga akan membangkitkan sikap kepedulian kita untuk terlibat dalam persoalan bersama.
Kata orang, “Tak kenal maka tak sayang.” Demikian juga rasa bangga. Kita baru bisa mengatakan bahwa kita sungguh-sungguh bangga akan sesuatu ketika kita memahami benar apa yang kita banggakan.
Bagaimana kita mengaku bangga, jika terhadap apa yang katanya kita banggakan itu, kita tidak berupaya untuk mengenalinya lebih dalam. Kecuali, jika yang kita banggakan memang bukan sesuatu yang nyata, tetapi hasil ciptaan pikiran dan imajinasi kita sendiri.
Baca juga: Mengapa Kita Perlu Belajar Sejarah Indonesia?