Kampung Dukuh Garut yang Masih Teguh Memegang Tradisinya

2801
Kampung Dukuh Garut
foto: situsbudaya.id

1001indonesia.net – Konon, nama Kampung Dukuh diambil dari Bahasa Sunda tukkuh yang berarti kukuh dalam mempertahankan hal yang menjadi haknya, atau teguh dalam menjalankan tradisi warisan karuhun (nenek moyang).

Masyarakat Kampung Dukuh masih memegang aturan yang diwariskan leluhur mereka turun-temurun, seperti tidak boleh menjulurkan kaki ke arah makam keramat yang ada di sebelah utara kampung, tidak boleh makan sambil berdiri, tidak boleh menggunakan barang-barang elektronik, dan tidak boleh berkeinginan membuat rumah yang lebih bagus dari milik tetangga.

Itu sebabnya, warga kampung ini hidup dengan sangat sederhana. Di tempat ini, kita akan menjumpai pemandangan rumah-rumah yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu, dan atapnya terbuat dari serabut alang-alang dan ijuk.

Semua rumah di kampung ini terbuat dari kayu. Ada aturan di kampung ini untuk tidak menggunakan kaca, tembok, dan genteng pada rumah tempat tinggal. Kesan tradisional masih sangat terasa.

Kampung Dukuh yang terletak di  Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat ini didirikan oleh seorang ulama yang bernama Syekh Abdul Jalil. Ia adalah seorang ulama yang diminta oleh Bupati Sumedang untuk menjadi penghulu atau kepala agama di kesultanan Sumedang pada abad ke-17.

Saat itu yang menjabat sebagai bupati Sumedang adalah Rangga Gempol II. Penunjukan Syekh Abdul Jalil sebagai penghulu tersebut atas dasar saran dari raja Mataram.

Saat diminta menjadi penghulu di Sumedang, Syekh Abdul Jalil mengajukan 2 syarat. Pertama, hukum agama tidak boleh dilanggar, seperti hukum tidak boleh membunuh, berzina, dan merampok. Kedua, bupati/pemimpin dan rakyatnya harus bersatu. Jika kedua syarat tersebut dilanggar maka ia akan mengundurkan diri dari jabatan kepala agama.

Namun, dua belas tahun kemudian persyaratan tersebut dilanggar. Terjadi pembunuhan terhadap utusan dari Kerajaan Banten. Hal itu terjadi karena Rangga Gempol II menolak untuk tunduk kepada Kerajaan Banten.

Pada saat peristiwa itu terjadi, Syekh Abdul Jalil sedang berada di Mekkah. Ia merasa sangat prihatin atas terjadinya pembunuhan itu. Setelah tiba di tanah air, Syekh Abdul Jalil memutuskan untuk pergi meninggalkan Sumedang.

Ia kemudian menetap di Batuwangi selama tiga setengah tahun. Kemudian ia melanjutkan lagi perjalanannya ke selatan dan tinggal di suatu daerah yang bernama Tonjong selama setengah tahun.

Di setiap tempat yang disinggahinya, Syekh Abdul Jalil selalu bertafakur memohon kepada Allah untuk mendapatkan tempat yang cocok untuk tinggal dan mengajarkan ilmu agamanya dengan tenang.

Pada saat bertafakur, ia melihat sebuah sinar sebesar pohon aren yang bergerak ke suatu tempat. Syekh Abdul Jalil kemudian mengikutinya. Sinar itu menghilang di antara sungai Cimangke dan Cipasarangan. Tempat tersebut dihuni oleh pakebon dan nikebon (orang yang menunggui huma atau ladang) bernama Aki dan Nini Candradiwangsa.

Setelah kedatangan Syekh Abdul Jalil, tempat tersebut diserahkan kepadanya oleh Aki dan Nini Candradiwangsa, dan mereka pun pulang ke rumahnya. Sepeninggal Aki dan Nini Candradiwangsa, Syekh Abdul Jalil menetap di daerah tersebut dan menyebarkan pengetahuan agama yang ia miliki.

Di tempat itu berdirilah Kampung Adat Dukuh yang masih bertahan sampai saat ini.

Semasa hidupnya, Syeikh Abdul Jalil merupakan otoritas tertinggi di Kampung Dukuh. Ia dibantu oleh beberapa pembantu utama (lawang) yang masing-masing memiliki tugas tersendiri.

Sampai saat ini, lawang masih berperan sebagai pembantu utama kuncen atau juru kunci Kampung Dukuh. Sepeninggal Syeikh Abdul Jalil hingga saat ini, kuncen merupakan pemegang otoritas tertinggi di Kampung Dukuh.

Susunan hierarki itu tidak hanya berlaku ketika Syeikh Abdul Jalil hidup. Setelah ia meninggal, Syekh Abdul Jalil dimakamkan di tempat yang paling tinggi. Kemudian secara berjenjang, di bawahnya, dikuburkan pembantu-pembantu utamanya.

Sampai saat ini, Syekh Abdul Jalil masih menjadi tokoh yang sangat dihormati oleh warga Kampung Dukuh. Setiap hari Sabtu, warga kampung akan berziarah ke leluhur kampung tersebut. Sebelum menuju makam, para peziarah diwajibkan untuk mandi dan berwudhu di sebuah jamban yang sudah disediakan warga.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

three × five =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.