Kampung Adat Wologai, Pesona Kampung Adat Berusia 800 Tahun

988
Kampung Adat Wologai (Foto: Edi Suherli/Fimela.com)

1001indonesia.net – Pulau Flores tak hanya kaya akan wisata alamnya yang mendunia. Pulau yang menjadi bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur ini juga memiliki beragam destinasi wisata budaya berupa kampung adat. Salah satunya adalah Kampung Adat Wologai yang sudah berusia sekitar 800 tahun.

Kampung adat milik suku Lio ini terletak sekitar 37 kilometer arah timur Kota Ende. Lokasinya tepat di sisi Jalan Trans Flores, Kecamatan Detusoko. Dari jalan berkelok dan menanjak tersebut, akan terlihat rumah-rumah mengerucut di puncak bukit dengan ketinggian sekitar 1.045 mdpl.

Di bagian depan sebelah kanan pintu masuk kampung terdapat sebuah pohon beringin. Diyakini pohon tersebut ditanam oleh leluhur mereka saat kampung adat ini berdiri.

Dilansir dari Mongabay, hal unik dari Wologai adalah arsitektur bangunannya yang berbentuk kerucut. Rumah-rumah dibangun melingkar dan ada tiga tingkatan. Setiap tingkatannya disusun bebatuan ceper di atas tanah yang sekelilingnya dibangun rumah-rumah. Semakin ke atas, pelataran semakin sempit menyerupai kerucut.

Kampung Adat Wologai
Rumah di Kampung Adat Wologai yang berbentuk kerucut. (Foto: travelingyuk.com)

Deretan rumah panggung di kampung ini dibangun melingkar mengitari Tubu Kanga, sebuah pelataran yang paling tinggi yang biasa dipakai sebagai tempat digelarnya ritual adat. Batu ceper yang terdapat di tengah digunakan serupa altar untuk meletakkan persembahan bagi leluhur dan sang pencipta.

Rumah di Kampung Adat Wologai berbentuk panggung, dibuat dari sepenuhnya dari bahan-bahan alami yang ada di lingkungan sekitar. Rumah diletakkan di atas 16 batu ceper yang disusun tegak untuk dijadikan tiang dasar penopang bangunan ini.

Bangunan dengan panjang sekitar 7 meter dengan lebar sekitar 5 meter ini memiliki atap berbentuk kerucut yang dibuat dari alang-alang atau ijuk. Tinggi bangunan rumah sekitar 4 meter sementara atapnya sekitar 3 meter.

Jumlah keseluruhan rumah adat di kampung Wologai adalah 18 rumah adat, 5 rumah suku, dan sebuah rumah besar. Rumah suku dipakai sebagai tempat penyimpanan benda pusaka atau peninggalan milik suku. Sedangkan rumah besar hanya ditempati saat berlangsung ritual adat.

Bentuk atap rumah adat yang menjulang memiliki filosofi yang berhubungan dengan kewibawaan para ketua adat yang didalam struktur adat dianggap dan dipandang lebih tinggi dari masyarakat adat biasa.

Di masa silam, bagian kolong rumah (lewu) digunakan untuk memelihara ternak seperti babi dan ayam. Ruang tengah digunakan sebagai tempat tinggal. Sedangkan loteng difungsikan sebagai tempat menyimpan barang-barang yang akan digunakan pada saat ritual adat.

Mendirikan rumah adat tidak boleh dilakukan sembarang. Perlu didahului dengan ritual adat Naka Wisu. Ritual ini menyangkut aturan memotong pohon di hutan untuk digunakan sebagai tiang penyangga rumah. Ritual tersebut harus dilakukan pukul 12 malam, dengan terlebih dahulu perlu menyembelih seekor ayam.

Sampai saat ini, masyarakat masih teguh adat dengan bentuk kampung adat karena tunduk dan taat pada perintah leluhur yang berpesan untuk selalu menjaga tradisi yang telah dilakukan turun-temurun.

Dalam setahun di Kampung Adat terdapat dua ritual besar yakni panen padi, jagung dan kacang-kacangan (Keti Uta) pada bulan April, dan tumbuk padi (Ta’u Nggua) pada bulan September.

Dari Taman Nasional Kelimutu, kampung adat Wologai hanya berjarak 16 km. Meski relatif dekat, karena jalannya berliku dengan jurang menganga di sampingnya, pengunjung harus ekstra hati-hati memacu kendaraan di daerah ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

five + sixteen =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.