Kain Gringsing Khas Desa Tenganan, Karangasem, Bali

3472
Ilustrasi Kain Gringsing
Ilustrasi para gadis Desa Tenganan mengenakan kain gringsing saat mengikuti upacara perayaan. (Foto: majalahbali.com)

1001indonesia.net – Kain gringsing berasal merupakan kain tenun yang sangat terkenal dari Desa Tenganan, Karangasem, Bali. Kain warisan budaya Bali Aga ini sangat istimewa karena merupakan satu-satunya kain Indonesia yang ditenun dengan motif dobel ikat. Selain di Desa tenganan, model tenun dobel ikat ini hanya ditemukan di dua tempat di dunia, yaitu di Jepang dan India.

Pembuatan kain ini membutuhkan ketekunan dan kesabaran tinggi karena tingkat kerumitan dan lamanya waktu pembuatan yang mencapai tahunan. Tak sekadar fungsional, kain ini memiliki makna sebagai penangkal penyakit atau penolak bala.

Desa Tenganan

Kain Gringsing hanya diproduksi di Desa Tenganan saja dan dipakai oleh masyarakat desa saat mengikuti upacara adat. Desa Tenganan sendiri merupakan desa adat di Bali yang unik. Masyarakatnya menganut agama Hindu. Mereka menyembah Dewa Indra atau Dewa Perang.

Konon motif kain gringsing diajarkan oleh Dewa Indra yang kagum akan keindahan langit malam. Dewa Indra mengajarkan motif tenun kain dengan latar belakang warna gelap kepada para wanita Tenganan untuk mengabadikan keindahan bulan, bintang, matahari, dan hamparan langit.

Dengan memuja Dewa Indra, masyarakat Desa Tenganan menjunjung tinggi nilai keberanian. Hal ini tampak pada salah satu tradisi Desa Tenganan yang masih lestari hingga sekarang, yaitu tabuh rah melalui perang pandan. Tradisi ini merupakan perwujudan dari sifat berani yang selalu ditanamkan dalam jiwa setiap warga Desa Tenganan.

Tabuh rah sebagai tradisi kebudayaan Desa Tenganan yang berkonotasi menumpahkan darah manusia sebagai persembahan kepada bumi atau Dewi Pertiwi. Pelaksanaannya melalui perang pandan, yaitu petempuran dua lelaki dewasa dengan senjata daun pandan berduri yang bisa melukai kulit. Kulit yang tergores akan menumpahkan darah sebagai persembahan terhadap Dewi Pertiwi.

Dengan tradisi tabuh rah melalui perang pandan ini, jiwa berani sebagai pengikut Dewa Perang atau Dewa Indra selalu ditumbuhkan dan terawat.

Juga ada tradisi truna nyoman, yaitu tradisi melemparkan lumpur oleh laki-laki dewasa kepada gadis-gadis di dalam rumah. Gadis yang dilempar itu bisa jadi istri truna nyoman, bisa juga tidak. Mungkin kalau melemparnya terlalu keras, alih-alih mau dipinang, si gadis yang kesakitan malah marah dan tidak mau dijadikan istri.

Penangkal Penyakit

Kain gringsing khas Desa Tenganan ini merupakan hasil dari kebudayaan yang unik dan menarik. Grising sendiri berasal dari kata gering (sakit) dan sing (tidak). Dengan demikian, kain gringsing bermakna untuk menangkal penyakit. Masyarakat Desa Tenganan mempercayai bahwa kain ini memiliki daya sebagai penolak bala, melindungi mereka dari penyakit dan mara bahaya.

Proses pembuatannya memakan waktu lama. Pertama kali menentukan untaian benang yang ingin diberi warna. Benang merupakan hasil dari pintalan dengan alat pintal tradisional. Bahannya didapat dari kapuk berbiji satu yang didatangkan dari Nusa Penida. Sebelum proses pewarnaan dan proses ikat, benang yang telah dipintal direndam dalam waktu 40 hari sampai maksimal satu tahun. Semakin lama benang direndam, semakin lembut  dan kuat hasilnya.

Ada tiga warna yang dominan, yaitu merah sebagai wujud penghormatan terhadap Dewa Brahma; warna kuning untuk penghormatan Dewa Wisnu; dan warna hitam untuk penghormatan terhadap Dewa Siwa.

Pewarnanya dari bahan alami. Merah didapatkan dari kulit akar mengkudu atau dari  “babakan” (kelopak pohon) kepundung putih dicampur dengan akar pohon sunti. Kuning didapat dengan menggunakan minyak kemiri yang sudah berumur kira-kira 1 tahun dicampur dengan air serbuk/abu kayu kemiri. Warna hitam didapat dengan mencampurkan bahan alami indigo dengan kulit akar mengkudu. Proses pewarnaannya memamakan waktu berbulan-bulan.

Tingkat kesulitan yang tinggi dan lamanya waktu pengerjaan membuat kain gringsing sangat bernilai. Tambah lagi, proses pembuatan serta perawatannya harus sesuai dengan aturan adat yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Desa Tenganan. Proses pembuatan kain ini diwariskan secara turun-temurun dan tetap dijaga keasliannya.

Itulah sebabnya harga kain gringsing di pasaran sangat tinggi. Selembar kain gringsing bermotif wayang dengan ukuran 150 cm x 50 cm harganya bisa mencapai 35 juta. Meski harganya selangit, ada saja para peminat yang memburu kain tradisional yang namanya sudah mendunia ini.

Sumber:

  • Kompas, Senin, 17 Oktober 2016.
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Kain_gringsing

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

sixteen − seven =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.