Joglo Pencu, Rumah Tradisional Kudus dan Filosofinya

Ayu Lestari

15392
Joglo Pencu, Rumah Tradisional Khas Kudus
Joglo Pencu, Rumah Tradisional Khas Kudus (Foto: Zakki Amali/bergegas.blogspot.co.id)

1001indonesia.net – Joglo Pencu memiliki makna filosofis dalam setiap bagian ruang dan ukirnya. Jarang masyarakat Kudus mengetahui makna filosofis yang terpendam, sehingga rasa kebanggaan berkurang. Bahkan semakin lama dilupakan. Buktinya, kini Joglo Pencu tidak lagi menjadi pilihan masyarakat Kudus untuk membangun rumah bersama keluarga.

Joglo Pencu tidak lagi menjadi kebanggaan, bukan lagi rumah impian yang ingin diwujudkan. Joglo Pencu sudah dianggap sebuah rumah kuno, rumah adat akulturasi budaya yang semakin terlupakan.

Joglo Pencu adalah rumah adat khas Kudus, Jawa Tengah. Kudus terletak tepat di lereng Gunung Muria, sekitar 50 km dari ibu kota Jawa Tengah, Semarang. Kabupaten yang dikenal dengan sebutan Kota Kretek itu memiliki bangunan rumah adat yang memadukan unsur-unsur yang bineka. Ada unsur budaya Hindu, Islam, Tionghoa, dan Eropa di dalamnya.

Saat ini, kita sudah jarang melihat Joglo Pencu berdiri di sepanjang jalan Kudus. Bangunan tradisional ini memang semakin langka. Salah satu wujud Joglo Pencu yang tetap terjaga untuk kunjungan wisata ialah letaknya di dalam Museum Kretek, Desa Getas Pejaten No. 155 Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus.

Ini mengindikasikan bahwa Joglo Pencu kian dilupakan oleh masyarakat Kudus. Selain karena kurang mengetahui makna filosofis di dalamnya, masyarakat juga enggan mengikuti budaya lokal yang didakwa sudah usang atau kuno. Kini, masyarakat lebih memilih membangun rumah gaya modern yang tinggi, bertingkat, dan mewah.

Joglo Pencu mulai dibangun pada 1500 M dengan bahan dasar kayu jati. Pembangun dan pendiri pertama kali dilaksanakan oleh dua ulama keturunan China yang menetap di Kudus. Salah satu namanya adalah Kyai Telingsing (Tee Ling Sing) yang merupakan guru dari Sunan Kudus.

Arsitektur

Joglo Pencu memiliki gaya arsitektur yang indah, dengan dominasi ukiran-ukiran yang memiliki makna filosofis tertentu.

  • Ukiran pola sampar banyu (gelombang air) atau tanaman yang akan tumbuh. Ukiran ini bermakna gelombang kehidupan manusia sebelum lahir ke dunia, biasanya terletak di depan pintu dorong utama. Manusia yang akan memasuki rumah melewati pintu ibarat manusia yang lahir ke dunia. Ukiran ini meningatkan manusia akan kelahiran dan perbedaan kehidupan sebelum dan setelah lahir, sehingga manusia yang sudah lahir dengan selamat ke dunia harus bersyukur kepada Allah Swt.
  • Ukiran pola naga yang bertapa dan berhadapan yang terdapat di tengah kerai depan. Pola ini merupakan bagian dari unsur akulturasi budaya dengan Hindu. Dalam budaya Hindu, ular naga adalah simbol dari dunia bawah.
  • Ukiran buah nanas yang terbalik di pintu masuk ruang dalam. Ukiran ini menyerupai mahkota raja, merupakan unsur dari budaya dengan Eropa.
  • Ukiran jari-jari yang sedang bertakbir di tiang pembatas ruang tamu. Ukiran ini bermakna sebagai alarm kepada penghuni rumah untuk selalu menunaikan kewajiban sholat.

Bagian atap Joglo Pencu berbentuk daun tembakau (kretek) yang merupakan ciri khas Kabupaten Kudus. Atap ini disebut Genteng Wuwungan Kretek.

Makna Filosofis

Dalam tata bangunan, Joglo Pencu memiliki makna filosofis khusus yang membedakannya dengan tata bangunan rumah biasa.

Pertama, Joglo Pencu memiliki atap yang mengerucut dan menjulang tinggi ke atas, ini menyimbolkan makna vertikal antara ciptaan dan Sang Pencipta. Kita sebagai ciptaan (makhluk) harus selalu mengingat Sang Pencipta.

Kedua, Joglo Pencu memiliki satu tiang penopang besar yang disebut Soko Geder di bagian tengah dan empat tiang penyangga yang disebut Soko Guru.

Soko Geder memiliki makna tauhid, satu tiang yang menyimbolkan keesaan Allah Swt. Satu tiang besar dan kuat yang menyangga atap rumah. Ini menyimbolkan satu kebesaran dan kekuatan yang menyangga seluruh alam, merahmati seluruh ciptaan.

Dengan simbol ini, seluruh penghuni rumah akan selalu ingat untuk beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. Dia lah yang menciptakan dan merahmati kita di dunia.

Sedangkan empat Soko Guru menyimbolkan empat sifat yang harus dijaga untuk menyangga kebaikan hidup.

Empat sifat yang disimbolkan empat Soko Guru adalah amarah (keinginan untuk berbuat maksiat), lawwamah (keinginan untuk selalu instropeksi diri), shofiyah (keinginan untuk selalu lembut dan tulus hati), dan mutmainnah (keinginan untuk selalu berbuat baik).

Ketika kita menjaga sifat amarah, lawwamah, shofiyah, dan mutmainnah di dalam kehidupan sehari-hari, kita akan mampu bertahan hidup dengan bahagia dan sejahtera. Bagaikan empat tiang Soko Guru yang menyangga atap ruang Gedongan atau ruang keluarga.

Ketiga, Joglo Pencu memiliki ruang tamu yang disebut Jogo Satru. Biasanya Jogo Satru digunakan untuk menerima tamu. Menurut istilah, Jogo berarti menjaga dan Satru berarti musuh. Jogo Satru berarti menjaga musuh. Jogo Satru digunakan untuk menjaga musuh agar tidak ke ruangan yang lebih dalam lagi. Musuh di sini terkait dengan para penjajah Belanda di masa silam.

Dulu, masyarakat Kudus ingin memberontak kepada penjajah Belanda. Mereka memberontak dengan cara halus dan cantik. Mereka ingin menunjukkan kepada penjajah bahwa penduduk Kudus bukanlah orang yang lemah dan remeh. Mereka adalah masyarakat yang kuat, pandai mengaji, berdagang, dan mapan, sehingga penjajah tidak semena-mena bersikap.

Keempat, ruang keluarga yang disebut Gedongan. Ruangan ini digunakan untuk bersantai bersama keluarga. Ada tempat tidur khusus keluarga di dalamnya. Ruang ini disangga oleh empat tiang Soko Guru yang telah kita ketahui makna filosofisnya.

Kelima, ruang masak atau dapur yang berada di bagian belakang. Ruang masak ini disebut dengan Pawon.

Keenam, di bagian paling belakang, Joglo Pencu juga memiliki sumur atau kamar mandi yang disebut Pakiwan. Pakiwan adalah simbol pengingat untuk selalu membersihkan diri, baik fisik maupun ruhani dari para penghuni rumah.

Pakiwan dikelilingi oleh berbagai tanaman buah dan bunga, seperti buah belimbing yang melambangkan rukun Islam, pandan yang menyimbolkan keharuman, kebaikan, kehalalan, kemudian ada bunga melati yang menyimbolkan keharuman, kesucian, dan keluhuran budi pekerti.

Ketujuh, Joglo Pencu harus menghadap ke arah Selatan yang bermakna meringankan beban kehidupan. Hal ini dikarenakan di sebelah utara terdapat Gunung Muria yang menjulang tinggi. Dengan menghadap ke selatan, rumah akan membelakangi Gunung, sehingga seolah-olah tidak memangku Gunung Muria. Falsafah hidup orang jawa mengatakan bahwa orang hidup janganlah memangku gunung karena akan memperberat beban kehidupan.

Rumah adat Joglo Pencu adalah sebuah rumah akulturasi budaya yang harus dilestarikan dan dibanggakan. Ia berasal dari pemikiran mendalam masyarakat. Ia tidak hanya sekadar bangunan rumah biasa, namun bangunan rumah yang kaya makna dan budaya. Banggalah memilikinya!

Sumber:

  • https://id.wikipedia.org/wiki/Joglo_Kudus
  • https://wisatajawa.wordpress.com/wisata-jawa-tengah/rumah-adat-kudus/
  • http://infomuria.umk.ac.id/
  • https://www.facebook.com/notes/kabupaten-kudus-online/mengintip-kisah-joglo-pencu-rumah-adat-kudus/575984902462034
  • http://sunan-kudus.com/Makam-Guru-Sunan-Kudus.html\
  • http://www.umk.ac.id/index.php/seputar-kudus/838-kiai-telingsing-begawan-yang-terlupa-/827-kiai-telingsing-begawan-yang-terlupa

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

sixteen − 15 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.