1001indonesia.net – Indonesia memiliki beragam seni bertutur. Salah satunya adalah guritan besemah yang berasal dari Sumatera Selatan. Seni bertutur tradisional ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kemdikbud pada 2014.
Kata guritan berasal dari kata gurit yang berarti cerita atau kisah. Kesenian ini merupakan warisan dari nenek moyang suku Besemah, salah satu suku yang mendiami wilayah Kabupaten Lahat, Kota Pagar Alam, dan Kabupaten Empat Lawang di Sumatera Selatan.
Guritan merupakan prosa lirik dalam bahasa Besemah yang dituturkan secara monolog dengan irama khas. Dari masa ke masa, bentuk, irama, dan bahasa guritan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Namun, isinya berubah, menyesuaikan dengan perkembangan khalayaknya.
Guritan biasanya berisi sejarah perjuangan, sanjungan kepada pahlawan, cerita legenda, kisah hidup seseorang, ataupun cerita rakyat. Kisah-kisah tersebut diguritkan atau dibawakan dalam bentuk nyanyian. Karena dinyanyikan, cerita-cerita itu menjadi lebih enak didengar.
Guritan ditembangkan pada malam hari, dalam suasana duka ataupun suka, seperti saat orang tertimpa musibah, ketika panen, kenduri, maupun saat malam bulan purnama. Tujuannya untuk menghibur keluarga yang mendapat musibah ataupun sekadar sebagai hiburan pada malam bulan purnama.
Dulu, di rumah penduduk yang ditimpa musibah kematian, guritan dituturkan sejak malam pertama jenazah dikebumikan sampai malam ketiga, dan kadang-kadang hingga malam ketujuh. Seiring waktu, guritan kemudian diganti dengan tahlilan sesuai dengan ajaran Islam.
Di masa yang telah lalu, guritan menjadi bagian dari kehidupan suku Besemah. Pada malam bulan purnama saat musim panen, secara monolog seorang penggurit menuturkan beragam kisah hingga larut malam di lapangan terbuka.
Orang tua, muda, dan anak-anak suku Besemah berkumpul mengelilinginya. Mereka larut dalam kisah-kisah yang dibawakan sang penggurit.
Baca juga: Beluk Engko, Seni Bertutur Sunda yang Mulai Dilupakan