1001indonesia.net – Siapa yang tak kenal gudeg? Kuliner khas Yogyakarta yang terbuat dari nangka muda (gori) ini sangat terkenal di Indonesia. Begitu terkenalnya makanan ini hingga kota Yogya dikenal sebagai “Kota Gudeg”.
Gudeg dibuat dari buah nangka yang banyak tumbuh Pulau Jawa. Perlu waktu berjam-jam untuk membuat hidangan ini. Bahan nangka muda direbus bersama rempah-rempah dan bumbu-bumbu lain. Selain memberikan rasa, rempah juga membuat makanan khas ini lebih tahan lama.
Makanan tradisional ini biasanya disajikan bersama nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tempe, tahu dan sambal goreng krecek.
Asal-usul
Konon, makanan khas Yogya dan Jawa Tengah ini bermula pada masa dibangunnya kerajaan Mataram Islam di alas Mentaok, daerah Kotagede Yogyakarta pada abad ke-16. Makanan ini pertama kali dibuat oleh prajurit kerajaan yang mendapati melimpahnya buah nangka dan kelapa.
Saat pembangunan kerajaan Mataram di alas Mentaok, banyak pohon ditebang. Di antaranya ada pohon nangka dan kelapa. Karena buah dari kedua pohon ini melimpah, dan nangka muda tidak bisa langsung dimakan, para prajurit mengolahnya menjadi sebuah masakan.
Para prajurit itu mengaduk (hangudeg atau ngudeg) nangka muda dengan santan kelapa menggunakan panci besar. Dari kata ngudeg inilah nama masakan yang ditemukan prajurit Mataram tersebut berasal.
Dari Serat Centhini (1814) kita ketahui bahwa saat itu gudeg telah menjadi makanan rakyat di daerah Jawa, termasuk Yogyakarta.
Cara pembuatan
Gudeg dibuat dari daging buah nangka muda. Berbeda dengan daging buah nangka matang yang lembut, kuning cerah, berminyak, dan rasanya sangat manis, daging nangka muda padat dan agak kering, bergetah, berwarna keputihan atau krem ringan, dan tidak bisa langsung dimakan.
Setelah kulitnya dikupas, nangka muda dipotong kecil-kecil, lalu direbus terlebih sampai lunak. Setelah itu, potongan nangka dituangkan dengan santan (bisa juga ditambah air kelapa), dibumbui, dan direbus selama 4 sampai 6 jam.
Warna gudeg dihasilkan terutama oleh bumbu rempah-rempah yang digunakan. Rempah-rempah ini juga memberikan cita rasa utama rasa gudeg karena daging mentah nangka muda sebenarnya tidak memiliki rasa khusus.
Gudeg hadir dalam berbagai warna, mulai dari hampir putih atau krem muda hingga merah tua atau cokelat. Variasi warna hidangan hidangan ini menjadi julukan jenis gudeg tersebut, yaitu gudeg putih dan gudeg merah.
Variasi gudeg putih disiapkan dengan rempah-rempah yang tidak terlalu mengubah warna produk asli, seperti ketumbar, lengkuas, jahe, bawang merah, bawang putih, dan lada hitam.
Pada gudeg merah, rempah-rempah lain ditambahkan selain bumbu di atas untuk memberi warna lebih gelap pada olahan nangka yang dihasilkan. Pewarna merah biasanya dari daun jati (Moringa oleifera). Bisa juga ditambahkan terasi untuk memberi nuansa warna merah kecokelatan.
Saat ini, orang-orang terkadang memasukkan teh celup ke dalam masakan selama proses perebusan untuk memberikan warna gelap dan rasa asam yang lebih pekat. Teh ini kemudian diangkat sesudah masakan matang.
Dalam semua jenis gudeg—baik gudeg kering dan basah, atau gudeg merah dan putih—biasanya ditambahkan gula aren atau gula jawa sebagai pemanis. Rasa manis inilah yang menjadi cita rasa khas gudeg.
Penyajian
Jika disajikan sendiri, gudeg dapat dianggap sebagai makanan vegetarian, karena hanya terdiri dari nangka dan santan. Namun, makanan khas Yogya ini biasanya disajikan bersama telur atau daging ayam.
Gudeg sering kali disajikan dengan nasi putih, kuah santan kental (areh), ayam (opor ayam atau ayam goreng), telur pindang, opor telur atau telur rebus biasa, tahu dan/atau tempe, serta sambel goreng krecek (rebusan yang terbuat dari kulit sapi renyah).
Gudeg dapat dikemas ke dalam besek (kotak yang terbuat dari bambu) atau kendil (guci tanah liat), atau kalengan. Gudeg kalengan bisa bertahan hingga satu tahun, meski rasanya tidak sebagus yang baru dimasak.
Variasi
Ada beberapa jenis gudeg: kering, basah, gaya Yogyakarta, gaya Solo, dan gaya Jawa Timur. Gudeg kering hanya memiliki sedikit santan dan memiliki sedikit kuah. Gudeg basah mengandung lebih banyak santan.
Gudeg yang paling umum berasal dari Yogyakarta. Rasanya lebih manis dan lebih kering dari varian lainnya, dan berwarna kemerahan karena penambahan daun jati sebagai pewarna. Gudeg Solo lebih berair dan berkuah, banyak santan, dan berwarna keputihan karena umumnya tidak ditambahkan daun jati.
Gudeg Yogyakarta biasa disebut “gudeg merah”, sedangkan gudeg Solo disebut juga “gudeg putih”. Gudeg gaya Jawa Timur memiliki rasa yang lebih pedas dibandingkan dengan gudeg gaya Yogyakarta yang lebih manis.
Gudeg secara tradisional diasosiasikan dengan Yogyakarta sehingga Kota Pelajar ini juga mendapat julukan sebagai Kota Gudeg. Pusat restoran gudeg Yogyakarta berada di kawasan Wijilan. Letaknya tak jauh dari Keraton Yogyakarta, sekitar 500 meter dari Alun-alun Utara.
Warung gudeg tertua di Sentra Gudeg Wijilan adalah Gudeg Yu Djum dan Gudeg Bu Slamet. Keduanya pertama kali membuka lapak gudeg di Wijilan pada 1946. Pada 1989, Gudeg Bu Lies juga membuka lapaknya di Wijilan.
Baca juga: Tiwul, Olahan Singkong sebagai Makanan Pokok Pengganti Nasi