1001indonesia.net – Umumnya, garam dipanen dari laut. Namun, hal tersebut tidak berlaku di Krayan, kota kecamatan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Di wilayah dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan laut dan jauh dari pantai itu, produksi garam justru melimpah. Kekhasan garam gunung Krayan ini bahkan terkenal hingga negara tetangga.
Sejak puluhan tahun, masyarakat yang tinggal di sini mengolah air asin yang berasal dari dua sumur di dekat sungai kecil menjadi butiran garam. Sebenarnya ada 33 mata air garam di sana. Namun, baru dua sumur yang diolah oleh masyarakat di Desa Long Midang dan sekitarnya menjadi garam gunung atau tucu dalam bahasa lokal.
Ada kisah turun-menurun di kalangan suku Dayak Lundayeh yang mendiami Krayan berkaitan sumur garam gunung itu. Konon, sumur itu adalah lubang tempat seekor burung terjatuh setelah terkena sumpit dari nenek moyang salah satu subsuku Dayak tersebut.
Burung itu lantas diambil dan dibakar untuk dimakan. Namun, saat disantap, daging hewan tersebut berasa asin, padahal tidak pernah dibumbui dengan garam. Keesokan harinya, warga kembali ke lokasi tersebut. Mereka kemudian mengetahui bahwa air dalam lubang itu berasa asin. Anehnya, sungai yang hanya berjarak sekitar 2–3 meter dari sumur tersebut, airnya tidak asin sama sekali.
Dikelola secara komunal
Tak ada kepemilikan pribadi terhadap alat produksi pengelolaan garam. Pengolahan garam gunung Krayan diatur secara komunal oleh seluruh penduduk desa khususnya warga suku Lundayeh.
Masyarakat Krayan secara berkelompok dan bergiliran mengolah garam, mengikuti alur kerja yang sudah puluhan tahun menjadi kebiasaan. Tiap keluarga mendapat jatah dua pekan dalam setahun untuk memproduksi garam.
Jika tempat tinggal mereka jauh dari lokasi produksi, mereka akan tinggal di sana selama proses produksi. Kaum perempuan memiliki peranan penting dalam proses produksi ini. Mereka bisa memproduksi antara 15-20 kg per hari, tergantung pada kayu yang digunakan untuk pembakaran.
Dengan sistem pembagian ini, kalau dihitung, giliran satu keluarga hanya satu kali. Namun, tak pernah ada masalah. Sebuah tradisi yang dibarengi kearifan lokal untuk merawat sumber daya alam dan mencegah keserakahan.
Metode pengolahan garam gunung di Krayan sepenuhnya menggunakan metode tradisional dan dikembangkan secara lokal. Dimulai dari menimba air dari dua sumur, memindahkannya dalam tiga wajan yang dipanasi dengan kayu gelondongan untuk mendapatkan api yang besar dan stabil. Air di wajan yang mengering akan berubah menjadi butiran kristal garam yang segera dikumpulkan dan dijemur di halaman rumah garam.
Garam yang sudah kering dikemas dalam plastik berisi 1 kilogram dan sebagian kecil lainnya dimasukkan dalam tabung bambu dan dibakar hingga kering dan dibungkus daun lontar untuk mendapatkan selisih harga yang lebih tinggi.
Selain dikonsumsi warga Krayan, garam gunung produksi daerah ini juga dijual sampai Malaysia dan Brunei. Rasa asin garam gunung Krayan sebenarnya tak beda dengan garam laut. Namun, garam gunung Krayan memiliki kualitas yang lebih baik dari garam laut karena memiliki kadar yodium yang tinggi sehingga berkhasiat mencegah penyakit gondok.
Selain itu, saat memasak sayuran hijau, garam gunung membuat warna hijau pada daun tetap tampak. Ini berbeda dengan garam biasa yang membuat sayur menjadi layu.
Yang pasti, kekhasannyalah yang membuat garam ini mudah di terima di pasar negara tetangga. Di Sabah-Serawak dan Brunei, garam gunung Krayan menjadi bumbu makanan favorit.