1001indonesia.net – Gamolan Pekhing atau Cetik merupakan alat musik tradisional dari daerah Lampung Barat. Alat musik pukul ini terbuat dari bambu.
Pohon bambu memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Nusantara. Bambu digunakan sebagai material bangunan, sebagai senjata, dan sebagai bahan kerajinan, termasuk di antaranya untuk alat musik.
Biasanya bambu digunakan untuk membuat alat musik tiup yang disebut seruling. Bambu juga menjadi bahan alat musik angklung dan calung yang mendunia serta banyak alat musik Nusantara lainnya. Di daerah Lampung Barat, bambu digunakan sebagai bahan alat musik pukul yang disebut Gamolan Pekhing.
Gamolan berasal dari kata gimol atau megimol yang berarti suara gemuruh dari ruas-ruas bambu yang mengalami gesekan yang disebabkan oleh tiupan angin. Sedangkan pekhing atau pering berarti bambu.
Sebagian besar seniman Lampung juga mengenal alat musik ini dengan nama
Cetik. Diperkirakan nama ini tercetus karena bunyi yang dihasilkannya, yaitu suara tik.
Baca juga: Saluang, Merdunya Seruling Bambu Khas Minang
Gamolan Pekhing dibuat dari bambu betung (Dendrocalamus asper) yang tumbuh di hutan-hutan di daerah Lampung Barat. Bambu jenis ini dipilih karena memiliki lingkar batang yang besar.
Bambu betung yang digunakan sebagai bahan adalah bambu yang mati temegi atau bambu yang sudah tua (berusia enam tahun atau lebih) dan mati dengan sendirinya.
Batang-batang bambu tersebut dipotong, direndam, dan dikeringkan. Selanjutnya disusun berjajar dengan menggunakan senar yang dirancang khusus sebagai perekat. Sebagai pelengkap, dipersiapkan sebuah kayu sebagai alat pemukul.
Pembuatan alat musik ini terhitung sulit dan makan waktu lama. Butuh waktu lebih dari 6 bulan sejak pemrosesan bahan hingga jadi.
Tak hanya itu. Cara memainkannya pun bisa dibilang tidak mudah. Untuk bisa memainkannya dengan baik dan menghasilkan nada-nada yang sesuai keinginan dibutuhkan keterampilan khusus melalui latihan rutin.
Gamolan Pekhing termasuk alat musik pentatonis, yaitu alat musik yang memiliki tujuh buah nada. Nada yang dihasilkan alat musik ini memiliki ciri khas tertentu yang menggambarkan suasana kesederhanaan, keluguan, dan kemurnian.
Gamolan dipercaya telah ada sejak abad ke-4 dan mengalami puncaknya pada abad ke-5 M. Diduga gamolan merupakan cikal bakal alat musik gamelan yang menggunakan material besi dan kuningan.
Gamolan diyakini dibawa ke Pulau Jawa seiring masuknya pengaruh Sriwijaya pada Dinasti Syailendra. Hal itu terlihat dari adanya gambar gamolan pada relief Candi Borobudur (abad ke-8). Kedua alat musik ini memiliki bentuk dan cara memainkan yang mirip.
Namun, ada pula pendapat yang mengungkapkan alat musik ini tercipta pada abad ke-17. Gamolan pekhing dibuat oleh dibuat oleh bujang khapok/mekhanai tua atau bujang tua dari daerah Sekala Brak.
Awalnya bujang tua membuat alat musik itu sekadar untuk menghibur diri. Seiring waktu, alat musik ini berkembang dan menjadi alat komunikasi tradisional untuk berkumpul.
Sebelum tahun 1990-an gamolan hanya dimainkan saat pelaksanaan upacara adat atau penyambutan tamu. Alat musik tradisional ini pun terlupakan dan hanya dikenal di kalangan tertentu. Salah satu alasan yang membuat alat musik ini kurang populer adalah karena tidak adanya standar baku dalam penataan nada.
Untungnya ada Syafril Yamin, seorang pengrajin dan seniman gamolan, yang berupaya mengangkat alat musik tradisional ini kembali ke permukaan. Ia pun membakukan notasi dalam gamolan, juga mulai memperkenalkan alat musik ini pada khalayak yang lebih luas.
Saat ini, gamolan menjadi salah satu materi kesenian dalam mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah di Provinsi Lampung.
Selain itu, alat musik ini bahkan ikut mewarnai khazanah kesenian kontemporer melalui kolaborasi dengan instrumen-instrumen musik modern. Dalam Festival Krakatau, gamolan kerap dimainkan sebagai salah satu kekayaan seni dan identitas Provinsi Lampung.
Pada 2014, Gamolan Pekhing ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia dari Provinsi Lampung.
Baca juga: Rindik, Alat Musik Bambu Khas Bali