1001indonesia.net – Desa Adat Tenganan Pegringsingan, selanjutnya disebut Desa Tenganan saja, adalah sebuah desa kuno di Bali. Desa ini dikenal unik karena masih mempertahankan pola pemukiman yang mereka warisi secara turun-temurun yang membuatnya tampak asri. Selain keunikannya, Desa Tenganan terkenal akan acara adat perang pandan dan tenun kain gringsingnya.
Desa Tenganan merupakan salah satu dari tiga desa Bali Aga yang sampai sekarang tetap memelihara tempat-tempat suci, pemujaan, dan adat istiadat yang berasal dari zaman megalitikum. Tempat pemujaan yang dimiliki masyarakat adat desa ini berkaitan dengan mitologi kuda. Sebuah legenda yang mengisahkan cikal bakal Desa Tenganan ini.
Mitologi Kuda Desa Tenganan
Dikisahkan suatu hari Raja Bedahulu kehilangan seekor kuda yang sangat disayanginya. Semua pepatih diperintahkan mencari. Orang-orang kemudian menyebar, mencari di mana kuda itu berada.
Salah seorang pepatih, Ki Patih Tunjung Biru, bersama dengan beberapa penduduk Paneges mencarinya ke arah timur. Ternyata, rombongan ini yang berhasil menemukan kuda itu. Kuda kerajaan ditemukan di sebuah hutan lebat yang dikelilingi bukit-bukit kecil. Namun, naasnya, kuda itu sudah tergeletak mati. Tidak diketahui penyebab kematiannya. Tak ada bekas luka ataupun tanda penyakit.
Raja Bedahulu yang dilapori kematian binatang kesayangannya itu menjadi murung. Sebagai obat atas kesedihannya, dia kemudian memerintahkan Ki Patih Tunjung Biru untuk menjaga bangkai kuda yang mulai membusuk itu. Ki Patih diperbolehkan membangun perkampungan dan mengajak serta orang Paneges yang dibawanya. Hanya saja, luas perkampungan hanya sejauh bau busuk kuda itu tercium.
Menanggapi perintah yang tidak masuk akal itu, Ki Patih Tunjung Biru berlaku cerdik. Ia kemudian memotong-motong bangkai kuda itu. Potongan-potongan itu lalu ia sebar ke segenap penjuru. Dengan akalnya itu, semakin luaslah bau busuk tercium. Perkampungan yang dibangun Ki Patih bersama pengikutnya menjadi lebih memenuhi syarat.
Daerah berbukit yang menjadi luas itu kemudian dibagi tiga: wilayah perkampungan, daerah hutan lindung, dan kawasan pertanian. Semua wilayah dikelola atas dasar nilai keadilan dan kebersamaan.
Di wilayah perkampungan, dibuat petak-petak karang (kapling) untuk perumahan yang sama besarnya. Bentuk-bentuk rumah yang akan dibangun pun diseragamkan ukurannya.
Hutan lindung yang mengelilingi perkampungan itu ditetapkan menjadi milik bersama atau milik adat. Semua hasilnya tak boleh dimiliki secara pribadi. Hanya di daerah pertanian tanah dibagi-bagi, tetapi itu pun hanya untuk pengolahannya saja, tanah tetap tak bisa dimiliki secara pribadi.
Kawasan itu kemudian berkembang. Ki Patih Tunjung Biru, bekas patih Kerajaan Bedahulu memimpin di kawasan baru itu. Meski demikian, ia hidup layaknya rakyat biasa. Ia tidak menyebut dirinya raja, tidak mengenakan gelar baru, bahkan tidak menyebut dirinya pemimpin.
Kebetulan desa tersebut terletak di antara tiga buah bukit, yaitu Bukit Kangin (timur), Bukit Kauh (barat), dan Bukit Kaja (utara). Karena letak desa di antara tiga buah bukit maka desa ini disebut Tengahan. Dalam perkembangan selanjutnya menjadi Tenganan.
Istilah “Tengahan” atau “Tenganan” juga berkaitan dengan kata ngetengahang atau pedalaman. Sebab, penduduk yang mendiami desa ini dulunya berasal dari desa Paneges di Bedahulu, Gianyar, yang letaknya di pinggir pantai. Berpindah ke Tenganan berarti bergerak ke arah pedalaman di tengah-tengah area perbukitan.
Sekarang, wilayah ini lebih tepat disebut sebagai Desa Adat Tenganan Pegringsingan—tambahan pegringsingan berasal dari kata gringsing, nama kain tenun khas Tenganan yang sangat terkenal itu. Nama Tenganan Pegringsingan hanya untuk membedakan dengan Desa Tenganan secara administratif pemerintahan, karena secara administratif Kelurahan Tenganan juga mewilayahi desa lain yang tidak memiliki kekhasan seperti Tenganan Pegringsingan.
Peninggalan dari Masa Megalitikum
Di desa Tenganan terdapat beberapa peninggalan dari masa megalitikum yang berkaitan dengan mitos kuda di atas. Di bukit bagian utara Desa Tenganan, terdapat sebuah monolit yang menyimbolkan kemaluan (phallus) kuda berdiri tegak. Masyarakat Tenganan menyebutnya kaki dukun. Monolit itu menjadi tempat berdoa bagi pasangan suami istri yang menginginkan momongan.
Tak jauh dari tempat itu, ada bentuk monolit yang ukurannya lebih besar. Namanya batu taikik. Monolit ini dianggap sebagai bekas cercahan isi perut kuda. Tempat ini disucikan sebagai tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran di wilayah itu. Lalu ada tumpukan batu-batu kali yang tersusun sedemikian rupa, yang dipercayai penduduk Tenganan sebagai bekas kepala kuda. Ini disebut rambut pule.
Di bukit Papuhun yang terletak di sebelah barat, ada peninggalan yang dipercayai sebagai bekas paha kuda, disebut penimbalan. Di sini sering dilangsungkan upacara yang berkaitan dengan masalah teruna—masa keremajaan seorang lelaki. Sedang tempat kuda itu pertama kali ditemukan tergeletak, disebut batu jaran. Lokasinya di bukit barat laut.
Keunikan Desa Tenganan
Desa Tenganan merupakan salah satu dari tiga desa Bali Aga— dua desa lainnya adalah Trunyan dan Sembiran—yang masih memegang tradisi leluhur mereka. Salah satu yang masih dipertahankan adalah tata ruang desa. Bentuk dan besar bangunan serta pekarangan, pengaturan letak bangunan, hingga letak pura dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun dipertahankan.
Perkampungan di Desa Tenganan tertata rapi. Seragam dan berpetak-petak lurus mirip kompleks Perumnas. Tiap petak ditempati oleh satu kepala keluarga. Luas petak sama besar. Bahkan besar dan bentuk bangunan rumahnya pun relatif sama, kecuali untuk bangunan bale melon (tempat tidur utama) dan paon (dapur) yang boleh dibuat sesuai dengan kemauan dan kemampuan.
Rumah dibangun dari campuran batu merah, batu sungai, dan tanah. Atapnya terbuat dari tumpukan daun rumbia. Pintu masuknya lebarnya hanya berukuran satu orang dewasa, dan bagian atas pintu terlihat menyatu dengan atap rumah.
Di Tenganan berlaku sistem pola menetap terpisah. Artinya, setiap terjadi keluarga baru, mereka harus memisahkan diri dari keluarga induknya. Keluarga baru ini berhak menempati satu kapling yang disediakan oleh desa. Imbalannya, keluarga baru itu diwajibkan memikul beban-beban adat.
Menariknya, sementara di daerah lain pola pemukiman berubah mengikuti zaman, di Tenganan tidak. Masyarakat desa ini masih mempertahankan pola perkampungan yang mereka warisi dari leluhur mereka. Sebuah kearifan lokal mengenai tata sosial yang terpadu dan terbukti mampu menjaga keutuhan dan keharmonisan masyarakat.