1001indonesia.net – Candi Bajangratu terletak di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Candi berbentuk gapura paduraksa ini menjadi salah satu jejak kemegahan Majapahit di masa silam.
Diduga nama Bajangratu ada hubungannya dengan Raja Jayanegara dari Majapahit. Jayanegara dinobatkan tatkala masih berusia bajang atau masih kecil, sehingga gelar Ratu Bajang atau Bajangratu melekat padanya.
Ada juga yang berpendapat nama Bajangratu dikaitkan dengan masa pemerintahan Jayanegara yang relatif singkat. Saat Jayanegara memerintah, timbul banyak pemberontakan di dalam negeri Majapahit. Raja Jayanegara bahkan mati secara tragis, dibunuh oleh tabibnya sendiri.
Diperkirakan Candi Bajangratu didirikan untuk menghormati Jayanegara. Perkiraan tersebut berdasarkan relief Sri Tanjung di bagian kaki gapura yang menggambarkan cerita peruwatan.
Dalam Kitab Pararaton dijelaskan bahwa Jayanegara wafat tahun 1328. Jayanegara kemudian dibuatkan tempat sucinya di dalam kedaton, dibuatkan arcanya dalam bentuk Wisnu di Shila Petak dan Bubat, serta dibuatkan arcanya dalam bentuk Amoghasidhi di Sukalila.
Menurut Krom, Csrenggapura dalam Pararaton sama dengan Antarasasi (Antarawulan) dalam Negarakertagama, sehingga dapat disimpulkan bahwa dharma (tempat suci) Raja Jayanegara berada di Kapopongan alias Csrenggapura alias Crirangga Pura alias Antarawulan, yang kini disebut Trowulan. Arca perwujudan sang raja dalam bentuk Wisnu juga terdapat di Bubat (Trowulan). Hanya lokasi Shila Petak (Selapethak) yang belum diketahui.
Di samping pendapat di atas, ada pendapat lain mengenai fungsi Candi Bajangratu. Mengingat bentuknya yang merupakan gapura paduraksa atau gapura beratap dengan tangga naik dan turun, bangunan ini diduga merupakan salah satu pintu gerbang Keraton Majapahit. Perkiraan ini didukung oleh letaknya yang tidak jauh dari lokasi bekas istana Majapahit.
Candi yang diperkirakan didirikan antara abad ke-13 dan ke-14 ini menempati area yang cukup luas. Hampir semua bagian bangunan candi dibuat dari batu bata merah. Kecuali pada lantai tangga, pintu bawah dan atas yang terbuat dari batu andesit.
Candi Bajangratu menghadap ke dua arah, yaitu timur-barat. Ketinggian candi sampai pada puncak atap adalah 16,1 m dan panjangnya 6,74 m. Gapura Bajangratu mempunyai sayap di sisi kanan dan kiri. Pada masing-masing sisi yang mengapit anak tangga terdapat hiasan singa dan binatang bertelinga panjang.
Pada dinding kaki candi, mengapit tangga, terdapat relief Sri Tanjung, sedangkan di kiri dan kanan dinding bagian depan, mengapit pintu, terdapat relief Ramayana. Pintu candi dihiasi dengan relief kepala kala yang terletak tepat di atas ambangnya. Di kaki ambang pintu masih terlihat lubang bekas tempat menancapkan kusen. Mungkin dahulu pintu tersebut dilengkapi dengan daun pintu.
Bagian dalam candi membentuk lorong yang membujur dari barat ke timur. Anak tangga dan lantai lorong terbuat dari batu. Bagian dalam atap candi juga terbuat dari balok batu yang disusun membujur utara-selatan, membentuk ruang yang menyempit di bagian atas.
Atap candi berbentuk meru (gunung), mirip limas bersusun, dengan puncak persegi. Setiap lapisan dihiasi dengan ukiran dengan pola limas terbalik dan pola tanaman. Pada bagian tengah lapis ke-3 terdapat relief matahari, yang konon merupakan simbol kerajaan Majapahit.
Walaupun candi ini menghadap timur-barat, namun bentuk dan hiasan di sisi utara dan selatan dibuat mirip dengan kedua sisi lainnya. Di sisi utara dan selatan dibuat relung yang menyerupai bentuk pintu. Di bagian atas tubuh candi terdapat ukiran kepala garuda dan matahari diapit naga.
Candi Bajangratu telah mengalami pemugaran pada zaman Belanda, namun tidak didapatkan data mengenai kapan tepatnya pemugaran tersebut dilaksanakan. Perbaikan yang telah dilakukan mencakup penguatan pada bagian sudut dengan cara mengisikan adonan pengeras ke dalam nat-nat yang renggang dan mengganti balok-balok kayu dengan semen cor. Beberapa batu yang hilang dari susunan anak tangga anak tangga juga sudah diganti.
Berbagai sumber sejarah menyebutkan, candi ini pernah mengalami rekonstruksi pada jaman Hindia Belanda. Pemugaran tersebut dilakukan dengan menguatkan struktur bagian sudut dengan cara mengisikan semen cor. Namun kendati begitu, tidak pernah ada kepastian data pasti waktu pemugarannya.
Baca juga: Mengenal Candi Plumbangan, Peninggalan Majapahit di Blitar