1001indonesia.net – Tradisi angngaru berawal dari ikrar yang diucapkan orang-orang Gowa pada masa silam. Tradisi ini biasanya diucapkan oleh abdi kepada rajanya, atau sebaliknya, oleh raja kepada rakyatnya.
Angngaru berasal dari kata dasar aru, yang berarti sumpah. Pada zaman dahulu, tradisi ini dilakukan sebelum prajurit berangkat ke medan perang. Para prajurit terlebih dahulu harus mengucapkan sumpah setia di depan sombayya (raja).
Di hadapan rajanya, para prajurit bersumpah untuk mempertahankan wilayah kerajaan, membela kebenaran, dan tak akan mundur sebelum berhasil mengalahkan musuh. Angngaru di hadapan raja akan membakar semangat juang prajurit yang akan berlaga di medan perang. Tradisi ini akan menumbuhkan jiwa kesatria pada tiap individu.
Selepas masa perang berakhir, tradisi ini masih terus dilestarikan. Para pejabat kerajaan yang baru dilantik harus melakukan tradisi ini. Pejabat baru mengucapkan sumpah di depan sombayya (raja atau pemerintah). Mereka akan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan kerajaan dan menjunjung tinggi kemuliaan raja.
Sampai saat ini, angngaru sudah menjadi sebuah tradisi. Tradisi ini berisi pesan moral, penjagaan terhadap bahaya, dan kesiagaan perlindungan. Pesan yang dibawa tercermin dari gerakan pangraru (pelaku angngaru) yang memegang badik dan disertai dengan ucapan lantang.
Tidak sembarang orang bisa membawakan tradisi ini, karena dibutuhkan keahlian khusus. Dalam pementasannya, pelaku angngaru memainkan badik, senjata khas Sulawesi Selatan. Dalam filosofinya badik dianggap sebagai simbol penjagaan dan perlindungan.
Pada masa sekarang, tradisi ini sering dipertunjukkan dalam kegiatan adat, kegiatan pemerintahan, maupun dalam penyambutan tamu-tamu kehormatan. Ritual ini menyampaikan simbol jika tamu yang berkunjung akan dijamin keselamatan dan kenyamanannya selama berada di daerah yang dikunjungi.
Bahkan dalam upacara pernikahan pun angngaru sering ditampilkan. Angngaru menjadi salah satu rangkaian dalam acara pa’bunting (pesta pernikahan adat Bugis-Makassar). Tradisi ini dilaksanakan saat acara ma’ppacci yang dilaksanakan pada saat menjelang acara akad nikah atau ijab kabul keesokan harinya.
Baca juga: Badik, Senjata Tradisional Masyarakat Sulawesi Selatan