1001indonesia.net – Bunyi bernada dengan memanfaatkan rongga adalah suatu bentuk seni yang sudah dikenal lama, misalnya dengan alat tiup yang dikenal di dunia. Alat musik bambu amatlah populer di Nusantara. Dengan angklung, kita menemui jenis seni ini melalui goyangan bambu. Dengan calung, kita menjumpai jenis seni dengan memukul bambu. UNESCO mengakui angklung sebagai warisan dunia bukan benda (Intangible Heritage List).
Jika ke Yogyakarta, kita menemukan popularitas calung yang mempunyai dasar pembuatan yang sama dengan angklung. Grup pemain calung ini berlaku seperti trubadur di masa lalu, menyanyikan lagu yang mengangkat suasana. Seringkali lagu yang diangkat adalah lagu jenaka.
Di Bali, kita mendapati adanya rindik yang juga mempunyai dasar pembuatan yang sama dengan calung dan angklung. Dimainkan untuk memberi suasana syahdu atau takzim, yang membawa orang mensyukuri kemurahan alam. Rindik biasanya ada pada tangga nada pentatonis.
Tentu saja di Pasundan, angklung dan calung ini telah menjadi pembentuk budaya. Dimainkan secara sendiri atau bersama dengan tembang dan syair atau pantun, alat musik ini berkembang dari waktu ke waktu. Cara menikmatinya tentu dengan memahami syair atau pantun tersebut. Ada yang dengan tangga nada pentatonis (5 notasi), dan ada yang dengan tangga nada diatonis (7 nada). Lagu-lagu modern biasanya memakai tangga nada diatonis. Sedangkan lagu-lagu daerah Pasundan, Jawa, Betawi, banyak memakai tangga nada pentatonis.
Terlihat bahwa akar dari musik bambu adalah rasa riang dari masyarakat Nusantara. Mengambil bambu dan menjadikan musik adalah suatu kebiasaan yang berkembang selama bertahun-tahun. Pada masa sekarang, angklung dan calung diangkat sebagai suatu gelaran konser besar, atau menjadi alat pengiring operet atau drama musik.