1001indonesia.net – Aksara Batak atau dalam bahasa-bahasa Batak disebut sebagai Surat Batak adalah salah satu aksara Nusantara yang masih ada hingga sekarang. Sayangnya, aksara ini terancam punah.
Sebagian besar masyarakat Indonesia bahkan tidak mengetahui bahwa suku Batak memiliki aksaranya sendiri. Padahal, kemampuan leluhur orang Batak dalam mengembangkan aksaranya sendiri merupakan tanda tingginya kebudayaan Batak di masa lampau.
Sejarah Aksara Batak
Secara umum, aksara Batak memiliki beberapa 5 varian bentuk, tergantung dari bahasa dan wilayahnya, yaitu Angkola-Mandailing, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, dan Toba. Namun, karena kelima wilayah Batak tersebut memiliki induk yang sama sehingga terjadi kesinambungan budaya dan bahasa. Sebab itu, tidak ada garis pemisah yang jelas antara kelima varian tersebut.
Menurut para ahli, aksara Batak seperti banyak aksara-aksara Nusantara lainnya merupakan turunan dari aksara India, yaitu aksara Pallawa. Namun, bagaimana tepatnya aksara Pallawa memengaruhi atau bertransformasi menjadi aksara Batak tidak diketahui dengan jelas.
Juga sebagaimana aksara-aksara Nusantara lainnya, aksara Batak termasuk dalam kategori abugida atau sebuah perpaduan antara huruf konsonan dengan huruf vokal yang dipasang pada aksara sebagai diakritik. Vokal dasar aksaranya berbunyi [a] dan dapat berubah sesuai pasangan huruf vokalnya.
Daerah-daerah yang menggunakan aksara Batak umumnya terletak di daerah pegunungan yang terpencil. Oleh karena itu, aksara ini tidak terkena pengaruh Islam yang masuk dari pesisir ke pedalaman.
Masuknya agama Islam membawa pula huruf Arab Melayu yang dikenal sebagai tulisan Jawi. Aksara yang disebut juga sebagai aksara Arab gundul ini dengan cepat menggantikan aksara-aksara Sumatra asli. Pengaruh Islam baru masuk ke tanah Batak pada abad ke-19 sehingga aksara asli ini masih dapat bertahan hingga abad ke-20.
Penggunaan Aksara Batak
Orang Batak telah mengenal tradisi tulisan sejak lama. Meski demikian, mereka tidak pernah menggunakan sistem tulisannya untuk tujuan sehari-hari. Kegiatan sehari-hari seperti membuat dokumen, membuat catatan utang piutang, dan membuat catatan silsilah marga tidak dilakukan oleh orang Batak zaman dulu. Untuk keperluan-keperluan tersebut semuanya dilakukan dengan lisan.
Pada umumnya, aksara Batak digunakan untuk menulis ilmu-ilmu perdukunan (hadatuon), ilmu pengobatan, ilmu nujum/perbintangan, dan lain-lain. Sebagian besar naskah yang tersisa berisi ilmu perdukunan. Ilmu ini hanya ditulis oleh para dukun (datu) karena hanya merekalah yang pandai dan berhak menulis bahasan ini. Naskahnya biasanya terbuat dari kulit kayu (pustaha lak-lak), tapi kadang kala juga terbuat dari bambu atau tulang kerbau.
Namun, tidak semua naskah Batak ditulis oleh para datu. Orang biasa juga menggunakan aksara Batak, baik untuk tujuan surat-menyurat (termasuk surat ancaman) maupun untuk menulis ratapan atas penderitaan yang sedang dialaminya. Fakta ini menunjukkan bahwa bukan hanya para datu saja yang bisa menulis. Menurut Kozok (2009), kemungkinan besar di zaman prakolonial, sekitar 30–50 % laki-laki Batak telah mengerti baca-tulis.
Media yang digunakan
Media yang digunakan dalam menulis aksara Batak pada umumnya ada tiga, yaitu kulit kayu (lak-lak), bambu, dan tulang kerbau. Media yang paling banyak digunakan adalah kulit kayu dan bambu. Meski kertas sudah masuk ke Batak pada akhir abad ke-19, tetapi jarang digunakan untuk menulis aksara Batak. Kertas digunakan di sekolah-sekolah untuk menulis huruf Latin.
Dalam hal media tulis, Sumatra tampaknya memiliki perbedaan dengan daerah lain. Umumnya, media tulis yang paling banyak digunakan baik di Jawa, Bali, maupun Sulawesi adalah daun lontar. Demikian juga naskah dalam bentuk tablet dari logam dan prasasti tidak ditemukan di tanah Batak.
Punahnya tradisi tulis asli Batak
Saat ini, orang yang mengerti aksara batak dan teknik penulisannya terhitung sangat langka. Menurut Uli Kozok (2009), ada 3 sebab yang membuat aksara Batak tidak banyak dikenali lagi dan terancam punah.
Pertama, seperti yang telah diungkapkan, orang Batak tradisional tidak menggunakan tulisan untuk keperluan sehari-hari. Demikian pula, mereka tidak menuliskan sastra atau cerita mereka. Sastra atau cerita-cerita itu diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi.
Kedua, masuknya agama Kristen dan agama Islam ke tanah Batak yang menggeser budaya asli Batak. Kaum Padri dan para penginjil dari Jerman menganggap naskah-naskah karya para datu sebagai benda-benda kafir. Oleh karena itu, mereka berusaha memusnahkan naskah-naskah kuno tersebut. Sejak itu, tidak ada buku beraksara Batak yang terbit lagi. Kalaupun ada naskah-naskah yang ditulis menggunakan aksara Batak, jumlahnya sangat sedikit.
Ketiga, 90% lebih naskah Batak yang tersisa tersimpan di museum-museum mancanegara dan sisanya di museum nasional. Hal ini menyulitkan para peneliti lokal untuk mengaksesnya.
Untuk persoalan ini, Uli Kozok, seorang peneliti di bidang aksara Batak, sudah merintis pengembalian naskah Batak ke tanah air dengan mengunggahnya ke dunia maya pada situs ulikozok.com. Sebuah upaya yang tentu sangat membantu dalam pengembangan dan pengenalan kembali aksara Batak di tanah air.
Saat ini tradisi pembuatan pustaha dan juga naskah dengan media bambu serta tulang kerbau bisa dikatakan telah punah. Kalaupun ada pengrajin yang membuat pustaha, kebanyakan yang ada adalah produk naskah cenderamata yang sangat rendah mutunya dan digunakan untuk hiasan semata.
Produk ini bukanlah naskah asli, tapi hanya naskah tak bermakna karena ditulis oleh pengrajin yang sebenarnya tak mengerti aksara Batak. Sangat sedikit pengrajin yang mengerti aksara Batak. Yang sangat sedikit itu pun hanya membuat naskah tiruan dari pustaha yang sudah ada.
Sumber:
Kozok, Uli, Surat Batak: Sejarah Perkembangan Tulisan Batak: Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Si Singamangaraja XII, Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 2009