1001indonesia.net – Menurut Ai Nurhidayat, ada 3 permasalahan di Pangandaran yang menjadi perhatiannya. Pertama, buruknya tradisi literasi. Salah satu penyebabnya adalah bahan bacaan yang sulit didapat.
Kedua, buruknya komunikasi antarwarga. Tidak ada komunitas dan ruang-ruang interaksi sebagai tempat warga untuk berjumpa dengan yang lain. Ketiga, kesenjangan dan sedikitnya lapangan kerja.
Berangkat dari persoalan itu, Ai dan kawan-kawan mendirikan Komunitas Salabad pada 2011. Komunitas yang terletak di Dusun Cikubang, Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, ini bergerak di bidang literasi, seni budaya, kepemudaan, pemanfaatan media dan ekologi.
Tiga prestasi yang pernah diraih komunitas ini adalah meraih penghargaan pada ajang Gotrasawala Ethnoghrafic Film Festival 2014, Juara 1 OKP Berbasis Komunitas Tingkat Nasional dengan meraih Piala Soegondo Djojopoespito pada Desember 2015, dan Juara 1 OKP kategori lingkungan hidup tingkat provinsi Jawa Barat pada Oktober 2018.
Selain itu, Komunitas Salabad juga mendapat penghargaan pada Festival Film Tasik sebanyak 2 kali dan belakangan mendapat Anugerah Literasi Priangan Timur.
Komunitas Ai kemudian mengadvokasi SMK Bakti Karya Parigi yang sedang mengalami kesulitan. Di sekolah tersebut, ia membuka program kelas multikultural. Pembiayaan melalui crowd funding dan sumbangan dari kakak asuh. Guru-gurunya berasal dari komunitas.
Target program kelas multikultural adalah anak-anak dari daerah konflik, dari daerah suku pedalaman, dan anak-anak dari etnis yang berbeda. Ai menginginkan agar kelas multikultural ini menjadi model bagi pendidikan multikultural di sekolah-sekolah.
Perjalanan sekolah ini tidak mudah. Program ini mendapat tantangan dengan adanya isu SARA (dituduh Kristenisasi). Untuk menghadapi tantangan tersebut, ia membuat Kampung Nusantara dan mengundang bupati untuk meresmikannya.
Program itu berhasil membuat masyarakat menjadi lebih terbuka. Warga setempat bahkan menawarkan rumahnya sebagai tempat menginap anak-anak dari kelas multikultural. Saat ini, puluhan siswa dari 20 provinsi tinggal di asrama, belajar bersama warga dan memiliki kegiatan yang terintegrasi dengan kegiatan warga.
Dengan cara ini anak-anak yang berbeda agama dapat diterima baik oleh masyarakat, padahal dua tahun sebelumnya hal ini tak mungkin terjadi.