1001indonesia.net – Para penganut aliran kepercayaan Bonokeling menggelar tradisi Perlon Unggahan atau Unggah-unggahan menjelang bulan puasa. Ritual ini dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon di Bulan Sadran atau Ruwah. Tujuan dari ritual ini adalah untuk menyambut musim menanam padi atau yang dikenal dengan istilah munggah.
Tradisi Perlon Unggahan dilakukan oleh keturunan (anak putu) Bonokeling yang tersebar di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap. Puncak acara dari ritual ini adalah tradisi ziarah ke makam Kyai Bonokeling. Para penganut aliran kepercayaan Bonokeling yang berasal dari Cilacap akan berjalan kaki hingga puluhan kilometer untuk mencapai makam.
Di antaranya berasal dari Desa Adiraja, sebuah desa kecil di Kabupaten Cilacap tempat bermukim mayoritas penganut aliran kepercayaan Bonokeling di luar Banyumas. Sebelum perjalanan dimulai, anak putu Bonokeling di desa ini melakukan caos bekti, semacam salam penghormatan pada para bedogol atau tokoh pemangku adat di dalam rumah adat pasemuan.
Setelah caos bekti, mereka kemudian berjalan sejauh puluhan kilometer, melintasi perbukitan yang memisahkan Banyumas dan Cilacap. Jalan kaki merupakan simbol napak tilas perjalanan leluhur mereka, Kyai Bonokeling, dalam menyebarkan ajarannya. Beberapa di antaranya berjalan sambil membawa ubo rampe untuk keperluan ritual.
Sesampainya di Desa Pekuncen, para pengikut kepercayaan Bonokeling dari Desa Adiraja langsung disambut oleh para warga Desa Pekuncen selaku tuan rumah. Mereka diperlakukan selayaknya saudara sendiri. Semua warga membuka lebar-lebar pintu rumahnya untuk dapat menjadi tempat beristirahat saudara jauh mereka sebelum melanjutkan ritual.
Dalam beberapa hari, Desa Pekuncen, tempat di mana makam keramat Kyai Bonokeling berada, mendadak sibuk oleh hiruk pikuk ribuan manusia. Di pertengahan hingga sepertiga malam sebelum fajar tiba, para warga penganut kepercayaan Bonokeling berkumpul melantunkan tembang-tembang berisi puja dan puji bagi leluhur mereka, yakni Kyai Bonokeling.
Keesokan harinya, kaum pria bergotong royong menyembelih hewan ternak hasil persembahan dari para anak putu trah Bonokeling yang dibawa dari Desa Adiraja, Kabupaten Cilacap. Daging hewan ternak dan hasil bumi persembahan para warga penganut Bonokeling itu kemudian dimasak dalam tungku dan wajan besar untuk dimakan bersama-sama di area makam.
Menginjak siang hari, ratusan perempuan berbalut kemban dengan selendang putih berbahan kain lawon melingkari pundak berbaris mengular panjang. Satu per satu mereka memasuki makam secara perlahan menuju pintu gerbang pusara makam keramat Kyai Bonokeling.
Kaum wanita sengaja didahulukan memasuki kompleks makam karena dalam kepercayaan Bonokeling, wanita merupakan perwujudan ibu bumi yang menghasilkan keturunan anak cucu pengikut Bonokeling hingga saat ini.Sebab itu, kedudukan wanita dalam kepercayaan kejawen kuno ini sangatlah dihormati.
Sedangkan kaum pria baru menyusul saat sore hari sambil membawa makanan yang telah dimasak pagi harinya menuju ke dalam pusara makam.
Setelah rampung prosesi ziarah, seluruh anggota Komunitas Adat Bonokeling makan bersama di kompleks dalam makam. Keesokan harinya, warga Bonokeling yang berasal dari Cilacap akan kembali lagi ke rumahnya masing-masing. Tetap dengan jalan kaki.
Sampai saat ini, Komunitas Adat Bonokeling masih tetap mempertahankan tradisi peninggalan leluhur mereka. Populasi mereka yang relatif tidak banyak, sekitar 5 ribu orang yang tersebar di dua kabupaten, tidak menyurutkan semangat mereka untuk tetap teguh memegang tradisi yang sudah berusia ratusan tahun itu.
Kyai Bonokeling
Ada beragam versi mengenai asal usul sosok Kyai Bonokeling. Yang bisa diketahui secara pasti adalah bahwa Kyai Bonokeling berasal dari daerah Pasirluhur, sebuah desa di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Selebihnya misteri.
Menurut Sumitro, ketua adat Desa Pekuncen, jati diri Kyai Bonokeling sendiri sesungguhnya memang dirahasiakan dengan tujuan untuk menjaga identitas asli leluhur. Barangsiapa yang ingin mengetahui dengan sesungguhnya sosok Kyai Bonokeling, ia harus menjadi pengikut setia dari trah Bonokeling.
Ada dua cara untuk menjadi pengikut setia yang ‘sah’ dari trah Bonokeling. Pertama, mempunyai garis keturunan penganut kepercayaan Bonokeling. Kedua, apabila tidak mempunyai garis keturunan trah anak putu Bonokeling maka harus menjalani masa todi atau masa ujian selama tiga tahun.
Apabila selama tiga tahun sanggup dengan setia mengikuti segala ritual adat dengan baik, maka diperbolehkan mengikuti dan mempelajari ajaran Bonokeling. Namun kesemua itu hanya diperbolehkan bagi yang telah menginjak usia dewasa atau 17 tahun.
Kyai Bonokeling sebagai sosok spiritual kejawen di masa lampau mengajarkan lima ajaran tentang kehidupan bagi wangsa pengikutnya yang masih dijalani hingga sekarang.
- Monembah, yang berarti sebagai manusia dianjurkan beribadah dan menyembah kepada Tuhan sesuai keyakinan masing-masing.
- Moguru, yaitu patuh terhadap perintah orangtua.
- Mongabdi, yang berarti saling menghargai dan menjalin hubungan antarsesama manusia.
- Makaryo yang berarti bekerja. Tanpa bekerja, manusia tak bisa mendapatkan penghasilan yang dapat menunjang kehidupannya di dunia.
- Manages manunggaling kawula Gusti, yang artinya hubungan manusia dengan Tuhan tidak melalui perantara apa pun. Dalam keyakinan Bonokeling, setiap orang yang lahir di muka bumi adalah titipan Tuhan. Oleh karena itu, interaksi manusia dengan Tuhannya bersifat langsung tanpa perantara.
Lima ajaran itu masih dipegang teguh oleh anak putu Bonokeling dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi para penganut kepercayaan Bonokeling, perilaku sehari-hari merupakan bagian dari manembah kepada Tuhan. Berinteraksi dengan sesama manusia secara baik dan bercocok tanam misalnya, merupakan wujud dari ibadah kepada Sing Gawe Urip. Sebab kita mengisi berkah kehidupan dengan kehidupan juga.