Ulap Doyo, Kain Tenun Khas Suku Dayak Benuaq di Kalimantan Timur

4688
Tenun Ulap Doyo
Ilustrasi (Foto: http://blog.samdhana.org)

1001indonesia.net – Tenun ulap doyo telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia sejak 2013. Tenun tradisional yang dikembangkan oleh suku Dayak Benuaq ini merupakan salah satu kekayaan wastra Nusantara yang tak ternilai.

Tenun ulap doyo memiliki kualitas yang istimewa. Tenun ini juga ramah lingkungan karena terbuat dari bahan alami. Benangnya terbuat dari serat daun doyo (Curliglia latifolia). Pewarnanya juga berasal dari berbagai tanaman yang tumbuh di hutan.

Doyo merupakan jenis tanaman liar yang tumbuh di hutan maupun di ladang milik penduduk di Kalimantan Timur. Tanaman ini memiliki serat yang kuat. Bentuknya mirip dengan daun pandan, tetapi lebih lebar.

Untuk dapat digunakan sebagai bahan baku tenun, daun doyo dikeringkan dan disayat mengikuti arah serat daun hingga menjadi serat yang halus. Serat-serat ini kemudian dijalin dan dipilin hingga membentuk benang kasar.

Untuk pewarna, beragam tanaman dan materi lain digunakan sebagai bahan. Warna merah, misalnya, berasal dari buah glinggam, kayu oter, dan buah londo. Warna cokelat diperoleh dari kayu uwar. Warna hijau diperoleh dari daun putri malu. Warna kuning dari umbi kunyit. Sementara warna hitam diperoleh dari jelaga hasil pembakaran damar atau serat daun pohon kebuau.

Tenun ulap doyo telah ada sejak berabad-abad silam. Diduga usianya hampir sama dengan usia keberadaan Kerajaan Hindu Kutai. Hal ini dikuatkan dengan temuan antropologi yang menyebutkan bahwa motif pada tenun ulap doyo menunjukkan strata sosial pemakainya.

Di masa silam, motif waniq ngelukng, misalnya, digunakan oleh masyarakat biasa, sementara motif jaunt nguku digunakan oleh kalangan bangsawan atau raja.

Secara umum, motif kain tenun ulap doyo diambil flora dan fauna yang ada di tepian Sungai Mahakam. Motif juga terinspirasi oleh kisah peperangan antara manusia dengan naga.

Baca juga: Pesut Mahakam, Lumba-lumba Air Tawar yang Terancam Punah

Semakin Langka

Sayang saat ini, tanaman doyo dan berbagai tanaman yang digunakan sebagai pewarna alami tidak mudah dijumpai. Pembukaan lahan untuk perkebunan dan penambangan membuat hutan semakin jauh dari pemukiman penduduk.

Doyo yang biasa tumbuh di ladang penduduk juga tak dapat ditemukan karena para petani beralih menjadi pekerja tambang dan perkebunan kelapa sawit.

Sulitnya mencari tanaman doyo dan pewarna alami, membuat para perajin tenun menggunakan benang untuk membuat kain dengan motif ulap doyo.

Saat ini, para perajin lebih banyak menggunakan benang dan pewarna kimia. Di samping mudahnya mendapatkan bahan baku, proses pembuatannya juga lebih cepat. Proses pembuatan tenun ulap doyo dengan bahan alami bisa memakan waktu sampai satu bulan. Ini menyebabkan ulap doyo berbahan daun doyo dan pewarna alami semakin jarang dibuat.

Selain itu, tenun yang menggunakan benang lebih diminati karena lebih halus dan dapat digunakan untuk bahan pakaian. Sementara yang berbahan doyo cenderung kasar dan keras.

Namun, dengan meningkatnya minat terhadap produk-produk berbahan alami saat ini, permintaan terhadap ulap doyo dari bahan alami juga meningkat. Para perajin ulap doyo, antara lain di Desa Tanjung Isuy dan Mancong, kembali membuat tenun berbahan serat dari tanaman dan pewarna alami.

Akan tetapi, minimnya ketersediaan bahan baku membuat mereka tidak selalu dapat memenuhi permintaan tersebut.

Baca juga: Kain Tenun, Kekhasan Tradisi Nusantara

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

sixteen − twelve =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.