Pukul Manyapu, Tradisi Unik dari Maluku Tengah

1909
Pukul Manyapu
Tradisi pukul manyapu merupakan atraksi perayaan Idul Fitri masyarakat Desa Morela dan Desa Mamala, Maluku Tengah. (Foto: sinarharapan.net)

1001indonesia.net – Pukul Manyapu atau Baku Pukul Manyapu merupakan tradisi unik  pertunjukan saling pukul menggunakan sapu ijuk yang diadakan untuk merayakan Idul Fitri. Tradisi ini digelar oleh masyarakat Desa Mamala dan Desa Morela, Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah, setiap 7 Syawal dalam penanggalan Hijriyah.

Tradisi Pukul Manyapu sudah ada sejak abad ke-17. Seorang tokoh agama Islam Maluku bernama Imam Tuni menciptakan atraksi ini sebagai perayaan keberhasilan pembangunan masjid di negeri Mamala.

Asal muasal tradisi ini juga dikaitkan dengan sejarah perjuangan Kapitan Telukabessy beserta pasukannya pada Perang Kapahaha melawan VOC Belanda pada 1636 hingga 1646.

Kapahaha merupakan benteng alami berupa bukit batu terjal yang terdapat di hutan Negeri Morela. Kapahaha menjadi benteng terakhir yang jatuh ke tangan Belanda di Pulau Ambon. Perang berakhir ketika Belanda berhasil mengalahkan pasukan Kapitan Telukabessy dan menguasai benteng.

Pejuang yang tertangkap dalam penyerbuan itu dijadikan tawanan di Teluk Sawatelu. Kapitan Telukabessy berhasil lolos, tapi ia diberi pilihan menyerahkan diri atau para tawanan dibunuh. Pada 19 Agustus 1946, Telukabessy menyerahkan diri. Ia dihukum gantung di Benteng Victoria Ambon pada 13 September 1946.

Sepeninggal Telukabessy, tawanan Kapahaha dibebaskan Belanda pada 27 Oktober 1646 yang bertepatan dengan bulan Ramadhan. Beberapa tokoh ditahan di Makassar dan Batavia. Sisanya, pulang ke daerah asal.

Pada perpisahan inilah, terjadi pukul sapu secara spontan sebagai ungkapan rasa sedih. Perih di badan karena lecutan sapu menjadi perlambang kerasnya perjuangan yang disertai dengan pengorbanan jiwa raga.

Kerasnya genggaman serta kuatnya pukulan menjadi perlambang tekad kuat untuk tetap menolak semua bentuk penjajahan dan kerja sama dengan Belanda. Seusai melakukan pukul sapu, mereka saling berpelukan sambil berikrar untuk saling mengingat dan bertemu kembali setiap 7 Syawal.

Pukul Manyapu dimainkan oleh para pemuda. Mereka dibagi dalam dua kelompok dengan kostum yang berbeda. Setiap kelompok berjumlah 20 orang. Para peserta diwajibkan juga menggunakan ikat kepala sebagai pelindung telinga agar tidak terkena sabetan lidi. Bagian tubuh yang boleh dipukul adalah dari dada hingga perut.

Setiap peserta berdiri berhadapan dengan peserta dari kelompok lain di tengah arena seukuran lapangan bola kaki. Tiap orang memegang batang lidi enau untuk disabetkan. Lidi diganti baru jika rusak atau patah.

Baca juga: Pohon Enau atau Aren yang Kaya Manfaat

Atraksi akan dimulai dengan aba-aba dari suara suling atau peluit. Setelah itu, para peserta akan saling memukul secara bergantian. Bekas sabetan lidi akan terlihat jelas pada tubuh mereka.

Setelah atraksi selesai, luka-luka akan diobati dengan getah pohon jarak. Ada juga yang diobati dengan olesan minyak nyualaing matehu (minyak Mamala) yang mujarab untuk mengobati patah tulang dan luka memar.

Meski mendapatkan pukulan lidi yang menyakitkan, tak ada dendam di antara para peserta. Atraksi ini justru mempererat tali persaudaraan di antara pemuda dari dua desa yang berbeda.

Keunikan tradisi ini menarik banyak wisatawan asing dan lokal untuk berkunjung. Untuk membuat suasana lebih semarak, atraksi Pukul Manyapu ini juga diramaikan dengan permainan rebana, karnaval budaya, dan pertunjukan kesenian tari lokal.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

fourteen − six =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.