1001indonesia – “Kita kalah, Ma,’ bisikku. Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” Inilah kutipan mashyur dari sastrawan paling terkemuka Indonesia Pramoedya Ananta Toer, seperti tercermin dari salah satu novelnya Bumi Manusia (1980).
Kutipan tersebut berkehendak melukiskan pergulatan seseorang yang hidup dalam kungkungan penjajahan yang mendera Hindia Belanda di Pulau Jawa saat peralihan abad. Di balik pergulatan berhadapan dengan kolonialisme itu tersirat adanya narasi besar tentang kemampuan dan ketidakmampuan individu dalam keterlibatan dengan perkembangan sejarah.
Pengakuan atas kepengarangan Pram, demikian Pramoedya Ananta Toer biasa disapa, berbanding terbalik dengan riwayat hidup Pram yang pernah mengalami jatuh bangun dalam mengarungi khazanah dan sejarah sastra Indonesia. Pram tercatat pernah hidup lama di balik jeruji besi saat Indonesia masih dalam cengkeraman penjajah Belanda periode 1947 hingga 1950-an.
Pram menuangkan kehidupannya di balik penjara dalam beberapa novel yang amat menggugah seperti Perburuan (1950) dan Mereka yang Dilumpuhkan (1951). Selain dua novel tersebut, di masa itu Pram juga menerbitkan novel sangat mengesankan semisal Keluarga Gerilya (1950) dan Kranji-Bekasi Jatuh (1947).
Hingga masa pembebasannya pada 1979, Pram menghasilkan empat karya gemilang yang dikenal dengan “Tetralogi Buru” yaitu Bumi Manusia (1980); Anak Semua Bangsa (1981); Jejak Langkah (1985); dan Rumah Kaca (1988).
Secara umum, keempat karya tersebut menyiratkan tahap demi tahap munculnya sikap dan kesadaran sebagai sebuah bangsa merdeka dan berdaulat setelah cukup lama menjadi bangsa terjajah, baik oleh bangsa asing maupun oleh bangsa sendiri. Dalam arti ini karya Pram sejajar dengan semangat yang digelorakan novelis Mochtar Loebis dalam karyanya Jalan tak Ada Ujung.
Di masa-masa awal penerbitan “Tetralogi Buru”, karya-karya tersebut—seperti juga karya-karya Pram lainnya—harus mengalami pencekalan dari pemerintah Orde Baru dan cukup lama dicap sebagai karya terlarang. Penjara dan pengasingan seakan tak pernah menjauh dari kehidupan Pram.
Tapi, yang menarik di masa-masa hidup sebagai individu dengan kebebasan serba terbatas itulah Pram seakan mendapat energi luar biasa untuk terus-menerus menghasilkan karya-karya cemerlang termasuk naskah embrional bagi roman Arus Balik (terbit 1995), nyaris bersamaan dengan terbitnya novel otobiografi Pram, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
Sumbangsih besar Pram melalui karya-karyanya diganjar dengan sederet penghargaan bergengsi di luar negeri seperti Wertheim Award (1995); Ramon Magsaysay Award (1955); UNESCO Madanjeet Singh Prize (1996); Fukuoka Cultural Grand Prize Jepang (2000); Centenario Pablo Neruda, Republica de Chile (2004). Pram berulang kali dinominasikan mendapatkan penghargaan Nobel untuk bidang sastra, khususnya untuk karyanya Tetralogi Buru.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 36 bahasa asing itu menghembuskan nafas terakhir pada 30 April 2006 di usia 81 tahun. Putra dari pasangan Mastoer dan Saidah itu tak hanya dikenal sebagai novelis tapi sekaligus seorang penulis cerita pendek, naskah drama, esais, dan kritikus.