1001indonesia.net – Keraton di Pulau Jawa biasanya dilengkapi dengan tempat ibadah yang dimiliki dan dikelola oleh pihak kerajaan. Tempat ibadah tersebut selain digunakan sebagai tempat sembahyang juga menjadi pusat perayaan acara-acara keagamaan. Demikian juga Pura Mangkunegaran yang memiliki Masjid Keraton yang bernama Masjid Al Wustho Mangkunegaran.
Masjid Al Wustho terletak di Jalan Kartini, di sisi barat Pura Mangkunegaran. Sebetulnya, bangunan masjid yang diprakarsai oleh Gusti Pangeran Adipati Haryo Mangkunegara I ini terletak di Kauman, Pasar Legi. Namun, pada masa Adipati Mangkunegra II, masjid negara dipindah ke wilayah Banjarsari dengan pertimbangan letaknya yang strategis dan dekat dengan Pura Mangkunegaran.
Pemindahan masjid ini merupakan perwujudan dari fungsi Mangkunegara sebagai panotogomo, yaitu negara yang tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan (politik), tetapi juga sebagai pusat penyebaran agama Islam.
Awalnya, masjid itu disebut sebagai Masjid Mangkunegaran. Nama Wustho diberikan pada 1949 oleh Kepala Takmir (Penghulu) Pura Mangkunegaran Raden Tumenggung KH Imam Rosidi. Al-Wustho berarti tengah atau pertengahan, merujuk pada ukuran masjid yang tidak sebesar Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta, tapi juga tidak sekecil Masjid Kepatihan.
Saat memasuki area masjid kuno ini, pengunjung akan disambut oleh tembok gapura dengan kaligrafi ayat-ayat Al-Quran yang membentuk kerucut. Terdapat dua gapura di masjid ini yang dari luar tampak kembar.
Gapura pertama berada di tepi jalan dengan ukuran yang cukup besar. Gapura ini berfungsi sebagai jalan masuk menuju halaman masjid. Gapura kedua bentuknya lebih kecil dan merupakan pintu masuk menuju serambi masjid. Kedua gapura tersebut dibuat pada 1917-18
Secara umum, arsitektur Masjid Al-Wustho mengikuti arsitektur Masjid Demak. Hal itu dapat dilihat dari atap tumpang bertingkat dengan puncak berupa mustaka masjid dan memiliki serambi. Masjid Al-Wustho memiliki serambi depan yang disangga oleh 18 tiang. Di serambi ini terdapat sebuah beduk yang diberi nama Kiai Danaswara.
Selain itu, di bagian utara masjid, terdapat sebuah menara tunggal setinggi 25 meter dan berdiameter 2 meter. Dahulu, menara yang dibangun pada masa KGPAA Mangkunegara VII tersebut berfungsi sebagai tempat untuk mengumandangkan azan.
Pengelolaan masjid saat itu dilakukan oleh para abdi dalem Pura Mangkunegara sehingga status masjid merupakan Masjid Mangkunegaran. Pemugaran besar-besaran atas Masjid Mangkenagaran terjadi pada saat pemerintahan Adipati Mangkunegara VII.
Pada saat itu, Mangkunegara VII meminta seorang arsitek dari Belanda, Herman Thomas Karsten, untuk turut serta mendesain masjid ini. Awal pendirian tempat ini khusus sholat para kaum bangsawan dan para abdi dalem. Saat ini, masjid ini sudah terbuka untuk umum.
Sekarang, masjid ini di bawah pengelolaan Departemen Agama Surakarta didukung oleh Pemkot Surakarta dan Pura Mangkunegaran sehingga pengurus masjid ini bukan lagi dari pihak Mangkunegara.
Dengan total luas tanah sekitar 4.200 meter persegi, Masjid Al Wustho Mangkunegaran terdiri atas serambi, maligin, ruang sholat utama dengan 4 tiang soko guru, pawestren, dan menara azan.
Maligin merupakan bagian dari masjid ini yang paling unik. Maligin terletak di bagian selatan di depan pawestren. Bangunan yang didirikan oleh KGPAA Mangkunegara V tersebut digunakan untuk melaksanakan khitanan atau sunatan para putra kerabat Mangkunegaran.
Namun, sejak Mangkunegara VII, maligin boleh digunakan oleh perkumpulan Muhammadiyah sebagai tempat khitanan masyarakat umum. Hingga saat ini, tradisi khitanan masih dipertahankan. Pada setiap liburan sekolah diadakan sunatan massal gratis yang oleh pengurus Masjid Mangkunegaran.
Masjid yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya pada November 2012 ini hingga saat ini masih aktif digunakan untuk kegiatan ibadah sholat, pengajian, dan dakwah. Kadangkala masjid juga membuka pengobatan gratis bagi masyarakat setempat yang dilaksanakan di poliklinik masjid.
Karena letaknya di barat Pura Mangkunegaran, tidak jarang wisatawan datang dari arah keraton Mangkunegaran. Selain untuk ibadah, pengunjung juga bisa belajar sejarah seni arsitektur masjid yang merupakan perpaduan antara seni bangunan jawa dan Eropa.