Ritual Tinju Adat di Kampung Tutu Badha

2959
Kampung Adat Tutu Badha
Foto: Kornelis Kewa Ama/KOMPAS

1001indonesia.net – Pada setiap tahun di bulan Juni-Juli, masyarakat Kampung Tutu Badha khususnya dan Kabupaten Nagekeo pada umumnya mengikuti rangkaian ritual adat di halaman rumah adat mereka. Pusat dari semua ritual adalah tinju adat, yang disebut etu.

Etu adalah ritual tinju adat untuk uji kejantanan antarpemuda. Pertarungan tinju adat ini berbeda dengan tinju konvesional. Para petarung menggunakan kepo—sarung tinju yang terbuat dari anyaman ijuk—di satu tangannya. Petarung hanya boleh memukul lawannya dengan tangan yang memakai kepo tersebut. Sementara tangan satunya hanya digunakan untuk menangkis.

Kampung Tutu Badha

Kampung Adat Tutu Badha terletak di Pulau Flores, tepatnya di Desa Langedhawe, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekao, Nusa Tenggara Timur. Jaraknya sekitar 15 kilometer dari Mbay, ibu kota Nagekeo. Kabupaten Nagekeo merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Ngada pada 2007.

Kornelis Kewa Ama (Kompas, 22/7/2017) menyebutkan bahwa dulunya, Kampung Tutu Badha merupakan padang pengembalaan. Di padang itu terdapat lumpur sebagai tempat kubangan kerbau. Di masa silam, kubangan lumpur itu adalah sumur milik leluhur suku Rendhu. Saat ini, suku Rendu mendiami wilayah Kecamatan Aesesa Selatan, Nagekeo. Tutu Badha sendiri berarti padang kerbau.

Pada masa silam, di kampung itu hidup empat kakak beradik, yakni Tasa Tuka (sulung), Kelikonga, Tifao, dan Zowea (bungsu). Masing-masing keturunan mereka menyebar ke sejumlah tempat. Saat ini, keturunan mereka diyakini mendiami wilayah Nagekeo, bahkan sampai Soa di Kabupaten Ngada.

Dikisahkan, empat saudara itu memperebutkan padang pengembalaan atau Tutu Badha. Mereka kemudian mengadakan etu. Mereka bersumpah, siapa yang kalah dalam pertarungan, dia akan keluar dari Tutu Badha dan bermukim di tempat lain.

Konon, Tasa Tuka (kakak sulung) dan Zowea (adik bungsu) yang memenangkan pertandingan itu. Itu artinya, keduanya yang berhak untuk tinggal di wilayah itu.

Sementara Kelikonga dan Tifao harus meninggalkan Tutu Badha. Mereka berdiam di wilayah barat, seperti Boawae, juga Soa di Kabupaten Ngada. Sebab itu, ritual tinju adat atau etu juga berkembang di daerah itu.

Meski berpisah, empat bersaudara itu bersumpah untuk memiliki satu rumah induk di Tutu Badha. Rumah itu dijaga dan dirawat Tasa Tuka dan Zowea.

Karena itu, setiap upacara adat di Tutu Badha, mestinya warga dari Soa dan Boawea juga hadir. Namun, mereka sudah memiliki rumah adat sendiri. Banyak tetua adat juga telah melupakan legenda tua itu.

Tasa Tuka dan Zowea melahirkan keturunan yang disebut suku Rendu yang kini mendiami wilayah Kecamatan Aesesa Selatan. Namun, menurut keyakinan setempat, seluruh warga Nagekeo sebenarnya memiliki satu leluhur, yaitu dari Tutu Badha. Sebab itu, Tutu Badha menjadi pusat budaya dan tradisi Nagekeo.

Di kampung itu, terdapat tiga kubur batu, milik tiga leluhur suku Rendu yang merupakan anak dari Tasa Tuka, yakni Heny Lebi, Djiko Radja, dan Laki Dora. Kampung itu menjadi pusat rumah leluhur, Ngara Bhu’u.

Sementara anak-anak Zowea dikuburkan di luar kampung karena status dia sebagai anak bungsu. Tasa Tuka sebagai anak sulung yang memiliki hak penuh atas kampung adat yang dalam bahasa setempat disebut Woe.

Woe Tutu Badha memiliki tujuh rumah adat. Dua unit berada di sebelah utara, dan lima unit di sebelah selatan. Terdapat halaman berukuran sekitar 30 x 100 meter. Di dalam halaman ini terdapat tiga kubur batu leluhur tersebut. Di kampung itu semua jenis ritual adat termasuk tinju adat, etu, digelar.

Lantai rumah dari panggung babu bulat, dengan atap mirip kerucut, tetapi bubungan atap datar. Ada dua kamar dalam satu rumah, masing-masing untuk perempuan dan laki-laki. Tamu duduk di emperan rumah. Emperen ini juga dimanfaatkan perempuan untuk menenun, menganyam, dan lainnya.

Jumlah penduduk di kampung adat itu 125 orang, dan 85 orang di antaranya berdiam di tujuh rumah adat. Sebanyak 40 orang berdiam di luar kampung karena perkawinan.

Ritual adat

Di kampung ini terdapat tiga rangkaian ritual adat yang tak dapat dipisahkan. Ketiganya adalah tinju adat (etu), tarian tradisional (phera), dan makan bersama (khose).

Pada phera, kaum pria dan wanita berpakaian adat berpegangan membentuk lingkaran, lalu menyanyi bersama sambil jalan berputar mengikuti lingkaran, dan diakhiri dengan khose atau makan bersama. Makanan yang disantap dibawa dari rumah masing-masing.

Rangkaian ritual adat ini memiliki syarat khusus yang tidak boleh dilanggar. Bahkan, saat pagelaran ritual adat di Tutu Badha, semua warga dari sekitar 23 kampung adat di Nagekeo wajib hadir, terutama kaum pria. Setiap kampung membawa ternak sesembelihan, seperti babi, ayam, dan kerbau, selain minuman tradisional arak.

Ritual adat ini digelar setiap Juni atau Juli. Tiap kampung menunjuk 1-2 pria muda untuk ambil bagian dalam ritul adat tinju etu. Para petinju wajib mengikuti aturan bertinju. Selama bertinju, mereka harus taat kepada wasit, yang disebut zakaEtu diperagakan pada pembukaan dan akhir ritual adat, yakni seusai syukuran adat dengan makan bersama.

Setiap pria dari Tutu Badha atau mereka yang merasa keturunan Tutu Badha wajib hadir dalam ritual adat. Jika berhalangan, mengirimkan hewan sembelihan berupa ayam jantan melalui anggota keluarga di sana untuk dipersembahkan pada ritual adat. Ritual bisa berlangsung 1-2 hari, bajkan 7 hari berturut-turut, bergantung pada kesepakatan.

Satu pekan sebelum pagelaran, semua ternak di kampung tidak boleh dibawa keluar atau ternak dari luar masuk ke kampung. Tidak boleh menggelar adat perkawinan dan bunyi musik tradisional.

Juga ada aturan bahwa darah ternak tidak boleh tumpah sebelum ritual untuk persembahan leluhur digelar. Jika melanggar, orang itu akan mendapat hukuman dari leluhur.

Pada 2016, etu ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI saat itu. Etu dianggap sebagai budaya yang khas. Meski bentuknya berupa ritual adu fisik yang mengandung unsur kekerasan, ritual tinju adat ini tidak mengajarkan dendam.

Ritual ini justru merupakan bentuk wujud syukur masyarakat petani atas hasil panen. Darah yang keluar dari para petarung dianggap sebagai persembahan kepada ibu pertiwi yang dengan berkahnya petani bisa mendapatkan hasil panen yang berlimpah.

Rujukan utama:
Kornelis Kewa Ama, “Kampung Adat Tutu, Pusat Budaya Nagekeo”, Kompas 22 Juli 2017.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

7 − two =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.