1001indonesia.net – Masyarakat Dayak Kayaan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, memiliki tradisi turun-temurun memanjangkan daun telinga. Kuping panjang suku Dayak ini oleh masyarakat setempat disebut telinga’ aruu’. Tradisi ini digunakan untuk menunjukkan kelas sosial sekaligus untuk menambah kecantikan pemakainya.
Tidak hanya Suku Dayak Kayaan yang memiliki tradisi memanjangkan telinga, juga tidak semua sub-suku Dayak memiliki tradisi ini. Sub-suku Dayak lainnya yang melakukannya antara lain Dayak Kenyah, Dayak Bahau, Dayak Penan, Dayak Kelabit, Dayak Sa’ban, Dayak Taman, dan Dayak Punan.
Tradisi memanjangkan telinga dilakukan oleh nenek moyang suku Dayak Kayaan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Untuk laki-laki, pemanjangan telinga dilakukan untuk menunjukkan kelas kebangsawanannya. Pada perempuan, selain untuk menunjukkan kelas sosial, juga untuk mempercantik penampilan. Semakin panjang telinga seorang gadis, semakin cantik dirinya. Karena aspek estetik ini, dibanding kaum lelakinya, kaum perempuan Dayak yang lebih banyak memanjangkan telinganya.
Kelas Sosial
Emanuel Edi Saputra dalam artikel “Telinga’ Aruu’, Kelas Sosial, dan Kecantikan” (Kompas, 6 Mei 2017) menyebut ada tiga kelas sosial dalam masyarakat Dayak Kayaan, yakni hipi, panyin, dan dipan. Hipi adalah adalah golongan bangsawan. Kelas sosial ini wajib memiliki telinga’ aruu’. Kelompok masyarakat panyin adalah golongan rakyat, sementara dipan adalah golongan pekerja kasar. Yang memiliki telinga’ aruu’ adalah golongan hipi dan panyin.
Membentuk telinga’ aruu’ dilakukan sejak bayi. Daun telinga dilubangi seperti membuat lubang untuk anting pada umumnya. Setelah lukanya kering, lubang itu dimasuki benang dan kemudian diganti kayu kecil. Saat usia seseorang bertambah dewasa, mulai dimasukkan anting yang terbuat dari timah (hisang semha’). Anting kemudian ditambahkan satu demi satu yang akan membuat lubang telinga semakin besar dan panjang.
Berhasil tidaknya memanjangkan daun telinga tergantung dari perawatan. Panjang daun telinga yang dianggap bagus berkisar 5-10 cm. Semakin bertambah usia seseorang semakin panjang telinganya. Semakin panjang daun telinga dan semakin banyak hiasan yang melekat, semakin tampak cantik pemiliknya.
Meski demikian, terdapat aturan dalam tradisi pemanjangan daun telinga ini. Kaum laki-laki dilarang memanjangkan telinganya melebihi bahunya, sedang kaum perempuan boleh memanjangkannya hingga sebatas dada.
Legenda
Ada legenda terkait anting (hisang) pada telinga’ aruu’. Dalam legenda Lung Uma’ Awe dan Idaa’ Beraan dikisahkan, hisang pada telinga’ aruu’ biasa digunakan para pria Dayak pada masa mengayau dulu sebagai alat komunikasi jarak jauh untuk memberi tahu bahwa si pemilik hisang dalam situasi terjepit di medan peperangan.
Untuk bisa dijadikan sebagai komunikasi jarak jauh, hisang diberi mantra dan darah manusia hasil kayau terlebih dahulu. Setelah diberi mantra dan darah, hisang itu akan terbang sendiri ke keluarga pemilik hisang untuk memberitahukan bahwa si pemilik hisang dalam bahaya.
Berbeda dengan tradisi tato Dayak yang masih terpelihara dan terkenal hingga mancanegara, penggunaan telinga’ aruu’ sudah memudar di kalangan masyarakat Dayak Kayaan. Perubahan zaman membuat perspektif terhadap telinga’ aruu’ berubah. Pada 1950-an banyak perempuan memotong telinganya karena malu. Mereka menganggap bertelinga panjang sudah ketinggalan zaman atau kuno. Meski sudah ditinggalkan di tempat asalnya, seni memanjangkan telinga ini justru menjadi inspirasi bagi penggemar seni tindik di seluruh dunia.