1001indonesia.net – Didong adalah bentuk kesenian tradisional Masyarakat Gayo di Aceh bagian tengah, yaitu di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Kesenian ini sudah ada sejak zaman Reje Linge XIII pada abad ke-16 M. Pada 2015, kesenian didong Gayo ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Pertunjukan didong berbentuk pertandingan antara dua kelompok (kelop) yang saling berkelakar sambil membuat sajak improvisasi yang disebut syair. Kesenian ini memadukan unsur seni sastra, vokal, dan tari. Pemain menyanyikan syair atau sajak dengan iringan musik khusus. Pertunjukan diperindah dengan tepukan serta gerakan lengan, kepala, dan badan oleh para pengiring.
Istilah didong berasal dari kata dendang yang berarti sama dengan denang dan donang dalam bahasa Gayo, berarti menghibur diri sendiri dengan menyanyi dengan diiringi musik sambil bekerja. Ada pula yang berpendapat bahwa istilah didong berasal dari kata din dan dong; din berarti agama dan dong berarti dakwah.
Pada awalnya, didong memang merupakan media untuk menyebarkan agama Islam. Syair-syairnya bukan hanya untuk dinikmati, tapi juga memuat nilai-nilai religius yang mengajak para pendengarnya untuk meneladani kehidupan Nabi. Sebab itu, dulu didong selalu dipentaskan pada hari-hari besar agama Islam.
Kelompok didong umumnya terdiri atas 30 sampai 35 orang, duduk berkeliling selama pertunjukan. Empat atau enam di antara mereka dikenal sebagai ceh, penyanyi didong. Sisanya adalah penunung atau penyur (pengiring).
Peran ceh dalam kesenian ini sangatlah menentukan. Seorang ceh harus dapat menggubah lagu dan menyanyikan hasil gubahannya. Ia juga harus dapat mengubah syair di tempat secara spontan, karena suatu pertunjukan didong sering berbentuk pertandingan antara dua kelompok yang harus saling berbalas sindiran dan cemoohan.
Tugas untuk menggubah lagu dan syair itu terletak pada pundak sang ceh kul (ceh besar) atau ceh satu. Di samping itu, ada pula ceh kedua dan ketiga. Masing-masing ditemani seorang ceh apit, pembantu atau teman.
Sementara itu, penunung atau pengiring duduk melingkar bersama para ceh. Mereka bertugas mengiringi permainan dengan tepuk tangan (tepok) dan variasi gerak tubuh yang serasi. Pengiring menggunakan bantal kecil (kampas) yang digunakan sebagai alas tepuk tangan.
Tepok dengan media bantal tersebut berfungsi sebagai ritme bagi melodi dalam kesenian ini. Di antara pengiring, ada satu atau dua orang yang berperan sebagai pemberi arah, mengatur variasi gerak yang diperlukan bagi kekompakan anggota kelompok (kelop).
Pertunjukan dan pertandingan
Jika pada awalnya didong digunakan sebagai media dakwah dipertunjukkan pada hari-hari besar agama Islam, kesenian ini kemudian menjadi bagian dari keramaian untuk merayakan upacara-upacara adat, seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen raya, penyambutan tamu, dan sebagainya. Didong berkembang menjadi cara untuk menghormati dan menghibur tamu.
Pertunjukan didong diadakan untuk hiburan umum dengan bantuan panitia. Panitia mencari dana untuk membangun masjid atau sekolah, pertunjukannya akan diadakan beberapa malam. Karcis dijual. Untuk menarik pembeli, acara menghadirkan kelompok-kelompok didong terkenal.
Pagelaran didong diadakan di ruang luas, seperti di rumah panggung (umah sara) ataupun di atas panggung di ruang terbuka. Pertandingan memakan waktu hampir sepanjang malam dengan dua kelompok yang bertanding tampil bergantian. Tiap kelompok diberi waktu 30 menit setiap pagelaran.
Kedua kelompok melakukan pagelaran bersama, sambil memberi kesempatan pada setiap ceh kul untuk menggelar sajak permintaan maafnya atas sindiran atau cemoohan, yang tidak dimaksudkan sebagai hinaan.
Pemenang ditetapkan oleh juri yang khusus ditunjuk untuk menghakimi pertandingan. Juri juga bertugas sebagai pengatur jalannya pertandingan. Mereka terdiri atas tiga orang yang dianggap ahli dalam kesenian didong serta dapat bersikap netral dan objektif.
Perkembangan didong
Kesenian khas masyarakat Gayo ini melintasi batas tempatnya berasal. Pertunjukan didong pernah diadakan di Banda Aceh, Medan, Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Pada 1970, masyarakat Gayo Jakarta mengundang Kabinet Mude dan Winar Bujang, dua kelompok yang paling dikenal di Gayo waktu itu, untuk menggelar pertunjukan di Jakarta. Tampil bersama mereka artis Ecek Umang dan Abdullah Rauf (Aman Dahlan) dari Kabinet Mude dan Bantacut dari Winar Bujang, juga Muhammad Basyir Lakkiki dari kelompok Lakkiki.
Kehadiran artis didong di Jakarta ini selain menghibur orang Gayo di Ibu Kota, juga berperan dalam mengenalkan bentuk kesenian tradisional dari Aceh ini kepada masyarakat yang lebih luas. Selain itu, gema pertunjukan artis-artis terkenal ini pun bergaung di Gayo sendiri, memberi kehormatan baru bagi didong yang hingga saat itu kurang dihargai.
Lima tahun kemudian, tahun 1975, masyarakat Gayo di Jakarta kembali menyelenggarakan pertunjukan didong, tepatnya di Teater Taman Ismail Marzuki. Mereka mendatangkan Ecek Bahim (Syeh Ibrahim) dan Banta dari Kabinet Baru, serta Daman dan Dewantara. Ikut juga ceh Sahak dari Lakkiki, Ishak Ali dan Saleh dari Terunajaya.
Sampai saat ini, didong masih digemari. Masyarakat Gayo sangat menikmati saat berdidong. Lestarinya kesenian ini tentu menjadi kabar yang sangat baik mengingat didong bukan pertunjukan semata, tapi berperan juga dalam meneruskan dan mengangkat nilai-nilai kehidupan masyarakat Gayo pada generasi penerus. Kesenian ini juga menjadi sarana masyarakat Gayo untuk menyuarakan protes atau kritiknya terhadap permasalahan sosial.
Sumber:
- L. K. Ara, “Didong,” dalam John H. McGlynn dan Karin Johnson, Indonesian Heritage: Bahasa dan Sastra, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.
- http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20369000-MK-Inayatillah.pdf