1001indonesia.net – Laut dan paus menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Desa Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Laut merupakan sumber makanan, tempat di mana mereka menggantungkan hidup. Dari laut, mereka mewarisi sebuah tradisi turun-temurun yang mendarah daging dalam kehidupan mereka, yaitu berburu paus.
Perburuan paus dilakukan oleh penduduk laki-laki yang sudah dewasa dan memiliki keahlian dalam melaut. Uniknya, masyarakat Desa Lamalera berburu paus tanpa peralatan modern. Mereka menggunakan perahu tradisional berukuran kecil dan sebilah tombak panjang (tempuling). Perahu tradisional yang digunakan disebut paledang, berukuran 15 sampai 20 meter dengan lebar 1 sampai 1,3 meter.
Dalam pemburuan ini, peran seorang penikam lembing yang disebut lamafa sangat vital. Dibutuhkan keahlian tinggi dan mental baja untuk menikam paus di laut lepas. Lamafa menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan perburuan. Kegagalan seorang lamafa saat menikam paus bisa berakibat fatal bagi keselamatan awak perahu.
Seorang lamafa harus berhasil menikam ke jantung paus pada usaha pertamanya. Jika ia gagal, paus akan mengamuk. Sabetan ekor paus cukup untuk membuat perahu hancur berkeping-keping.
Selain itu, menarik paus dengan ukuran yang bisa mencapai 45 ton dan panjang 20 meter ke daratan dengan alat-alat yang sangat sederhana bukanlah pekerjaan mudah.
Berburu paus merupakan tradisi turun-temurun masyarakat Lamalera. Tradisi berburu paus begitu melekat dalam diri setiap nelayan Lamalera. Bahkan, anak-anak usia dini di sana sudah belajar berenang dan menikam dengan semangat. Setiap rumah gubuk di sekitaran Pantai Lamalera menyimpan satu paledang dan dua perahu kecil mirip sekoci sebagai pedamping paledang.
Hasil dari perburuan paus ini tak hanya dinikmati oleh masyarakat pesisir. Tradisi juga menghasilkan terciptanya hubungan saling menguntungkan dengan masyarakat pegunungan. Daging, minyak paus, dan darah hasil berburu ditukar dengan jagung, umbi-umbian, pisang, sayur, dan buah-buahan dari masyarakat pegunungan. Kegiatan barter ini berlangsung di Pasar Wulandoni, sekitar 3 kilometer dari Lamalera.
Musim berburu paus atau musim Lefa biasanya berlangsung Mei hingga Oktober. Saat itu, paus sperma atau koteklema dalam bahasa setempat bermigrasi antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Ketika paus-paus itu melewati Laut Sawu di selatan Pulau Lembata, itulah saatnya para pemburu dari Lamalera untuk melaut dan melakukan perburuan secara bersama-sama.
Selain koteklema, juga memburu orca atau paus pembunuh yang dalam bahasa setempat disebut dengan seguni. Tapi, paus jenis ini jarang masuk ke perairan Lamalera. Biasanya satu kali setahun atau tidak sama sekali. Seguni juga lebih ganas dan berontak lebih keras daripada koteklema.
Perburuan paus diawali ritual adat di bukit yang berjarak 5 kilometer dari Pantai Lamalera, tepatnya di sebuah batu berbentuk paus, setiap tanggal 28-29 April. Di batu itu, para tetua adat menaruh sesajen sambil membacakan doa adat untuk memohon pertolongan leluhur agar diberikan panen yang berlimpah serta dilindungi dari bahaya.
Ritual adat dilanjutkan dengan misa kudus di Pantai Lamalera setiap tanggal 2 Mei. Seorang pastor memimpin misa yang dihadiri ribuan nelayan dan keluarga nelayan. Misa digelar untuk meminta pertolongan Tuhan supaya hasil tangkapan mencukupi kebutuhan warga dan nelayan yang melaut dijaga keselamatannya dalam perburuan yang sangat berbahaya itu. Nelayan juga memohon istirahat kekal bagi nelayan yang telah meninggal selama melaut.
Kearifan Lokal
Kehadiran paus di perairan Lamalera diyakini bukan kebetulan, tetapi diantar leluhur. Paus yang masuk perairan Lamalera kebanyakan jenis jantan atau betina yang sudah tua. Jika nelayan menemukan paus muda atau paus yang sedang hamil, langsung dikembalikan ke laut. Karena itu, dibutuhkan pengamatan cermat dari nelayan Lamalera untuk memastikan usia dan kondisi paus yang diburu.
Selain itu, ada jenis paus yang pantang mereka buru, yaitu paus biru atau kelaru dalam bahasa setempat. Menurut kepercayaan setempat, paus biru merupakan “ibu” pulau mereka.
Selama musim perburuan paus, nelayan melakukan pemantauan dari bibir pantai. Pemantauan juga dilakukan dari lopo, rumah panggung berukuran 2 x 3 meter yang dibangun di atas bukit. Dari ketinggian bukit itu, pergerakan paus dapat dipantau dengan lebih leluasa.
Jika paus terlihat, orang-orang yang ditugasi mengawasi pergerakan paus dari lopo akan berteriak “baleo… baleo…“, artinya paus. Teriakan itu dapat menggerakkan seluruh nelayan di desa itu untuk bersiap melaut.
Setelah paus terlihat lebih jelas, biasanya warga memingirim satu unit paledang ke laut. Paledang itu akan mendekati paus untuk memantau jenis dan bentuknya. Jika paus itu layak untuk ditangkap, pengamat yang ada di dalam perahu pertama akan memanggil perahu lain untuk merapat.
Daging dan minyak paus yang ditangkap kemudian dibagi ke seluruh warga desa. Pembagian diprioritaskan bagi janda dan yatim piatu kemudian bagi penikam (lamafa), pemilik perahu, dan seluruh masyarakat Lamalera. Inilah saat kebersamaan dan kekeluargaan terjalin erat dalam masyarakat Lamalera. Tidak ada yang terlewat dalam pembagian ini. Setiap orang yang berhak dalam pembagian hasil buruan, mendapatkan haknya.
Pemburuan paus di Lamalera menjadi dilema masyarakat internasional yang ingin membatasi pemburuan paus demi terjaga kelestariannya. Namun, masyarakat Desa Lamalera memiliki cara tersendiri dalam menjaga kelestarian paus. Mereka membatasi jumlah paus yang diburu. Paus yang ditangkap tidak boleh lebih dari 15 per tahun. Mereka pun hanya memburu paus yang sudah berusia tua. Ketentuan ini ada dalam aturan adat.
Sumber:
- Kornelis Kewa Ama, “Melanjutkan Tradisi Leluhur Lamalera,” Kompas, Sabtu, 4 Maret 2017.
- http://travel.detik.com/read/2016/11/06/134000/3284776/1025/lamalera-dan-tradisi-perburuan-paus
- http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/03/lembata-lamera-dan-perburuan-paus
- http://www2.jawapos.com/baca/artikel/2144/kisah-para-lamafa-juru-tombak-ikan-paus-dari-lamalera
Menurut saya peristiwa diatas tidak masalah karena penduduk sekitar tidak membunuh paus karena kebutuhan individu melainkan kebutuhan penduduk desa, lagipula paus yang mereka bunuh bukan sembarang paus mereka membunuh paus yang sudah tua saja paus yang masih muda atau paus yang sedang hamil tidak mereka bunuh, dalam melestarikan paus mereka juga membatasi paus yang mereka bunuh, paus yang ditangkap tidak boleh lebih dari 15 per tahun.