Kampung Maneken, Hidup dalam Kebersahajaan tanpa Alat-Alat Modern

4744
Kampung Maneken
Kampung Maneken (Foto: Kornelis Kewa Ama/KOMPAS)

1001indonesia.net – Untuk mencapai Kampung Maneken di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, tidaklah mudah. Keadaan jalan yang tidak baik menyulitkan perjalanan ke kampung itu. Namun, kelelahan akibat perjalanan yang sulit akan terbayar begitu kita tiba. Di sana, kita akan disuguhi keindahan pemandangan kampung dan cara hidupnya yang sangat khas.

Kehidupan masyarakat di Kampung Maneken yang masih mempertahankan tradisi peninggalan leluhur sangat mengesankan. Di tengah gempuran modernitas dengan kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi, cara hidup sederhana dengan hanya mengandalkan alat-alat tradisional yang berasal dari lingkungan sekitar pada masyarakat Kampung Adat Maneken dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua.

Secara administratif, Kampung Adat Maneken terletak di Desa Fahiluka, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. Lokasinya hanya 10 kilometer dari Betun, ibu kota Kabupaten Malaka, atau 250 kilometer dari Kota Kupang. Meski dapat dilalui dengan mobil, kondisi jalan menuju kampung ini buruk, banyak lubang dan berlumpur.

Pagar setinggi 2 meter yang mengelilingi kampung seluas 15.000 meter persegi menjadi ciri khas yang membedakan Kampung Adat Maneken dengan kampung-kampung lainnya. Pagar tersebut terbuat dari bambu dan pelepah lontar yang mengelilingi kampung. Hanya ada satu akses masuk ke kampung ini.

Kampung ini didiami oleh 4 suku, yaitu Loo Tuen Hametis, Uma Liurai, Uma Ferik Ida, dan Uma Ferik Rua. Suku Loo Tuen Hametis yang menjadi penguasa kampung memiliki rumah adat tertua di ujung timur kampung, yang disebut kepala. Suku Uma Liurarai berdiam di bagian tengah kampung. Suku Uma Ferik Ida dan suku Uma Ferik Rua masing-masing berumah di sisi kiri dan kanan kampung.

Suku Loo Tuen Hametis juga mempunyai rumah adat khusus di sisi bagian barat kampung, disebut Uma Messakh. Rumah itu adalah rumah singgah yang harus didatangi tamu sebelum menjejakkan kaki di bagian lain dari Kampung Maneken.

Saat ini ada 101 rumah adat di kampung yang sesuai dengan jumlah kepala keluarga yang mendiami kampung. Tiap anggota suku memiliki dan tinggal di rumah adat masing-masing. Ukuran rumah adat berkisar 4 x 5 meter sampai dengan 8 x 10 meter. Makin tinggi status sosial dan jabatan di dalam adat, makin besar ukuran rumah yang didiaminya.

Material rumah adat diambil dari alam sekitar, dibangun tanpa menggunakan paku. Tiang rumah dibuat dari kayu bakau yang diambil dari pesisir berjarak 2 kilometer dari kampung. Lantai panggung rumah adat dibuat dari belahan batang pinang. Dinding bangunan merupakan anyaman daun lontar. Tali pengikat atap dan sambungan antarkayu menggunakan tulang daun lontar atau gewang.

Bahan-bahan rumah adat Kampung Maneken yang diambil dari berbagai tempat menyimbolkan persatuan antara laut, dataran, dan pegunungan. Manusia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari alam. Untuk hidup, mereka bergantung dari alam. Sebab itu, manusia perlu menjaga dan merawat alam.

Rumah adat itu pun berisi benda-benda purba warisan masing-masing leluhur, seperti parang, keris, tombak, panah, kain tenun, dan alat musik tradisional seperti likurai. Juga berisi pakaian bekas pakai dari orang yang telah meninggal termasuk parang, tombak, dan pisau.

Menolak Modernitas

Kampung yang terletak di dekat batas Indonesia dan Timor-Leste sebenarnya dapat saja terkoneksi dengan aliran listrik. Namun, warga menolak kampungnya dialiri listrik. Kampung Maneken yang teguh mempertahankan nilai-nilai leluhur ini menolak modernitas. Menurut mereka, modernitas tidak selalu membawa kebaikan. Sebab itu, mereka lebih memilih hidup secara tradisional dengan memanfaatkan apa yang diberikan oleh alam di lingkungan mereka.

Tidak heran bila warga Kampung Maneken tidak mempunyai alat-alat rumah tangga modern, seperti televisi, alat masak gas atau listrik, radio, dan lain-lain. Warga kampung ini boleh saja memiliki telepon genggam, tapi tidak boleh digunakan di dalam kampung.

Untuk penerangan, warga menggunakan lampu tradisional. Lampu dibuat dari biji kemiri yang dihaluskan bersamaan dengan kapas. Bahan itu dibalutkan pada cabang kayu, kemudian dibakar ujungnya sehingga menghasilkan nyala api.

Dalam gelapnya malam, warga kampung meyakini leluhur dapat hadir dan berbicara melalui mimpi atau berbicara melalui istri kepala suku. Jika istri kepala suku mulai berbicara dan bertingkah di luar kebiasaan, itulah pertanda saatnya leluhur menjadikan tubuhnya sebagai media untuk menyampaikan pesan. Ketika itu terjadi, semua anggota keluarga akan duduk dan mendengarkan nasihat atau pesan sang leluhur.

Warga kampung juga tidak mengonsumsi gula pasir. Tiap hari mereka hanya minum kopi pahit. Sebagian besar makanan diolah dengan cara direbus. Untuk menggoreng, mereka menggunakan minyak kelapa olahan sendiri.

Sebagian besar perempuan memakai tenun ikat buatan sendiri. Sementara baju dan celana bagi perempuan dan laki-laki dibeli dari pasar. Pakaian dan sabun tidak termasuk barang pemali atau yang dilarang leluhur. Yang dilarang adalah hasil industri yang membuat manusia semakin jauh dari leluhur, seperti televisi, radio, listrik, komputer, dan internet.

Ketika hidup mereka jauh dari modernisasi, ternyata tiap pria dewasa di kampung itu jadi memiliki “lulik”, kekuatan supernatural. Kekuatan itu diwariskan dari satu generasi ke generasi berupa akar dari pohon tertentu yang disertai mantra. Dengan “lulik” itu, mereka yakin akan selalu berada dalam perlindungan leluhur.

Kekuatan mereka dikenal luas di Betun. Tidak heran apabila saat ada warga dari kampung lain sakit keras, terkadang tetua adat di Kampung Maneken dimintai pertolongan. Dan, ternyata pertolongan dari tetua Kampung Maneken terbukti keampuhannya.

Walau memegang teguh tradisi leluhur, anak-anak Kampung Maneken boleh menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Bila anak-anak itu ingin menggunakan teknologi informasi, tetap harus bermukim di luar kampung, di kampung tetangga.

Sumber:

  • Kornelis Kewa Ama, “Merawat Warisan Kampung Maneken,” Kompas, Sabtu, 18 Februari 2017.

1 Komentar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

fourteen − 10 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.