1001indonesia.net – Ritual nyalamaq di lauq atau selamatan di laut biasanya dilakukan pada bulan Oktober. Ritual ini berasal dari suku pelaut—suku Bajo, Mandar, Bugis, dan Makassar—yang bertandang dan akhirnya menetap di pulau Lombok. Mereka menempati daerah-daerah pesisir pantai selatan Lombok dan membawa serta tradisinya.
Setiap kampung nelayan di daerah selatan seperti Maringkik, Labuhan Haji, Labuhan Lombok, dan lainnya, memiliki tradisi serupa. Sesekali, kampung-kampung ini menggelar selamatan laut bersama-sama yang biasanya dipusatkan di Tanjung Luar.
Tradisi nyalamaq di lauq sangat unik karena menggabungkan budaya suku pelaut Nusantara dengan kearifan lokal khas Lombok tanpa melupakan unsur islami sebagai penguatnya. Dengan kata lain, tradisi ini menjadi cerminan dari budaya-budaya yang ada di Nusantara. Kawasan Nusantara merupakan melting pot di mana berbagai budaya melebur, berasimilasi, dan berakulturasi, kemudian membentuk budaya baru yang sesuai dengan lingkungan setempat.
Prosesi
Untuk melaksanakan ritual nyalamaq di lauq dibutuhkan peralatan khusus. Peralatan ini tidak dimiliki oleh satu kampung, melainkan tersebar di berbagai kampung. Untuk itu, semua peralatan perlu didata dan dikumpulkan. Alat-alat dipinjam dari kampung lain. Peminjaman ini juga sebagai sarana untuk mengundang semua komunitas nelayan ikut terlibat dalam acara ini.
Perlengkapan yang dikumpulkan harus dipastikan tidak boleh ada yang kurang, salah cara memasang, atau keliru menempatkan. Jika ada kesalahan, diyakini ritual tidak akan berjalan mulus dan bisa mendatangkan bencana.
Sementara itu, para tokoh akan menentukan waktu dan tempat pelaksanaan ritual. Tanda akan dimulainya ritual harus bersamaan dengan munculnya pupuru atau bintang sembilan, yang disebut masyarakat suku Sasak sebagai bintang rowot.
Seekor kerbau disiapkan sebagai korban dan kepalanya akan dilarung ke laut. Karena tradisi ini merupakan perpaduan budaya dan agama Islam, selama tiga hari pelaksanaannya, di sepanjang malam akan digelar doa dan zikir di lokasi acara. Setiap hari para tokoh adat juga akan berkeliling kampung sambil membaca doa-doa keselamatan.
Pada hari pelaksanaan prosesi, setiap orang yang mengiringi acara akan dikenakan sambeq (penanda) berwarna merah dan kuning di kening dan lehernya. Sambeq ini menjadi simbol bahwa hanya merekalah orang-orang terpilih yang boleh mengiringi proses, sekaligus mencegah dari gangguan makhluk halus.
Beberapa perempuan berperan sebagai penjaga dalam prosesi ini. Sebagian di antaranya dalam pengaruh kekuatan magis. Jika ada penonton atau orang biasa yang hendak mendekat melewati garis pembatas penonton, perempuan yang kesurupan ini akan mengingatkan mereka sambil menangis.
Kerbau yang sudah disiapkan kemudian akan diarak keliling kampung, sebelum disembelih dan dilarung keesokan harinya. Tempat melarung kepala kerbau pun tak sembarangan. Para sanro (dukun) kampung bertugas mencari titik yang tepat diiringi puluhan perahu nelayan. Daging kerbau kemudian akan dibagikan pada anak yatim.
Kearifan Lokal
Banyak kearifan lokal yang terdapat dalam ritual ini. Selama 3 hari berlangsungnya prosesi, para nelayan tidak boleh melaut. Larangan ini menjadi simbol untuk memberikan kesempatan bagi ikan-ikan dan biota laut untuk tumbuh besar sehingga terjaga keseimbangan ekosistem laut.
Upacara ini merupakan ungkapan syukur masyarakat nelayan terhadap hasil laut yang menghidupi mereka. Inilah simbol adanya hubungan yang dekat dan selaras antara manusia dengan alam. Laut tidak hanya menjadi objek yang dieksploitasi semaunya yang berujung pada kerusakan ekosistem, tetapi sebagai sesuatu yang diakrabi dalam hubungan saling memberi dan menerima.
Peralatan yang dipakai dalam prosesi nyalamaq di lauq pun ada maknanya. Bendera atau ula-ula yang dipasang menunjukkan ciri khas suku-suku yang membawa tradisi ini ke Lombok. Ada lima warna dalam bendera ini, yakni putih melambangkan Suku Bajo, warna kuning melambangkan Mandar, warna merah melambangkan Makassar, warna hitam melambangkan Bugis, dan warna merah putih melambangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pakaian adat yang digunakan oleh para gadis pembawa alat tenun pun berasal dari berbagai suku tersebut.
Juga, prosesi ini mencerminkan kuatnya rasa kebersamaan dan persaudaraan antarwarga. Ritual ini melibatkan banyak orang, seperti pada prosesi iring-iringan perahu dan arak-arakan keliling kampung. Mereka saling bahu-membahu, bekerja bersama agar ritual ini dapat berjalan dengan baik dan membawa keberkahan pada seluruh masyarakat nelayan yang ada di sana.