1001indonesia.net – Tidak boleh menanam padi lebih dari sekali dan tidak boleh menjual padi, beras, ataupun nasi kecuali bila keadaan terpaksa maupun bila hasil panen melimpah. Itulah kearifan lokal yang menjadi bagian dari tradisi turun-temurun yang hingga kini masih dipegang teguh oleh masyarakat di Kasepuhan Ciptamulya. Mungkin aturan adat itu terasa aneh bagi kita. Namun, itulah kekhasan masyarakat di sana yang terbukti ampuh untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan alam.
Kasepuhan Ciptamulya yang merupakan salah satu dari sejumlah komunitas adat Sunda ini berada di daerah pegunungan yang berhawa sejuk. Tepatnya di Cibongbong, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Dengan keteguhan yang tak tergoyahkan, masyarakat di sana mampu bertahan mempertahankan tradisi leluhur untuk hidup selaras dengan alam di tengah modernisasi dan gempuran teknologi. Ritual adat warisan leluhur sebagai bentuk penghormatan terhadap alam masih secara rutin diadakan. Di antaranya adalah Upacara Adat Seren Taun yang dilaksanakan sebagai rasa syukur terhadap alam atas hasil panen yang didapat selama satu tahun. [Baca: Upacara Adat Seren Taun Cigugur Kuningan]
Juga relasi sesama warga dalam satu komunitas tampak sangat erat. Hidup tolong-menolong dan budaya gotong royong masih mendarah daging di kasepuhan yang dipimpin oleh Abah E. Suhendri Wijaya yang merupakan keturunan ke-10 dari raja Kerajaan Pajajaran ini. Para penduduknya santun dan ramah, juga terhadap para pendatang yang berkunjung ke kasepuhan.
Di komunitas ini, warga hidup dalam rumah-rumah tradisional berbentuk panggung. Bahan bangunannya diambil dari lingkungan sekitar, seperti kayu, bambu, dan daun kiray. Rumah dibangun dengan cara bergotong royong.
Pekerjaan utama warganya adalah petani ladang dan sawah. Padi merupakan tanaman utama dan diperlakukan secara istimewa. Ada ritual yang dilakukan baik pada saat menanam maupun saat memanen padi. Selain padi, penduduk kasepuhan juga menanam palawija, beragam jenis sayuran, pisang, cabai, tomat, dan tanaman lainnya.
Aturan adat leluhur yang hanya boleh menanam dan memanen padi sekali dalam setahun merupakan upayan untuk merawat tanah sekaligus bentuk penghargaan terhadap alam. Tanah yang terus-menerus ditanami padi akan berkurang kesuburannya. Sebab itu, setelah panen padi, ladang bisa digunakan untuk tanaman lain, seperti tanaman palawija. Sawah bisa dipakai untuk kolam ikan.
Kearifan lokal lain yang masih terjaga adalah larangan untuk memperdagangkan beras. Jual beli padi dinilai pamali (tidak elok/baik). Padi atau beras merupakan makanan pokok untuk hidup sehingga tidak baik jika diperdagangkan. Meski tidak boleh diperjualbelikan, padi atau beras dapat dibarter dengan barang kebutuhan lain.
Padi yang dipanen disimpan dalam lumbung (leuit) untuk kebutuhan pangan selama satu tahun. Hampir semua rumah punya lumbung. Bangunannya terbuat dari kayu beratap ijuk. Di leuit, padi disimpan dengan cara digantung. Konon dengan cara menyimpan seperti ini, semakin lama disimpan, rasa nasinya semakin enak.
Singkatnya, kampung adat di tatar Sunda ini mencerminkan suasana tradisional. Aturan adat yang diwariskan secara turun-temurun masih dipegang kuat. Alam tidak diperlakukan sebagai objek yang bisa dieksploitasi semaunya. Hubungan antarwarga terjalin dengan sangat erat dalam semangat kebersamaan dan gotong-royong.
Tentu cara hidup seperti ini sangat menarik, khususnya bagi masyarakat kota yang memiliki cara hidup yang sangat berlainan. Kampung ini juga bisa menjadi sarana pendidikan mengenai bagaimana hidup secara harmonis baik dengan sesama manusia maupun dengan alam.
Di balik kesederhanaan Kasepuhan Ciptamulya, terdapat sebuah kearifan lokal, sebuah pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun tentang bagaimana manusia memanfaatkan apa yang ada di lingkungan sekitar tanpa harus merusak alam. Dengan cara ini, alam tidak menjadi musuh atau ancaman bagi manusia.
Kebetulan, Kasepuhan Ciptamulya terbuka bagi siapa saja yang ingin mengenal budaya masyarakatnya. Sudah banyak orang asing yang berkunjung dan tinggal beberapa hari. Rombongan pelajar yang berjumlah puluhan hingga ratusan siswa dari sejumlah kota sering datang ke Ciptamulya.
Sumber:
- Bambang Supriyanto, “Harmoni Menyentuh di Kasepuhan Ciptamulya,” Bisnis Indonesia, Sabtu 19 November 2016.
- http://budaya-sukabumi.blogspot.co.id/2014/08/komunitas-kasepuhan-cipta-mulya.html