1001indonesia.net – Tradisi ngubek leuwi merupakan ritual menangkap ikan di sungai secara bersama-sama dengan tangan kosong. Tradisi tahunan yang digelar sejak 2010 ini merupakan ungkapan rasa syukur warga Cikelet Garut Selatan atas berbagai nikmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa setelah menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Kebahagiaan itu mereka sempurnakan dengan berkumpul bersama sanak keluarga dan juga silahturahmi sesama warga saat Lebaran. Kegiatan silaturahmi antarwarga desa kemudian menjadi lebih semarak dengan adanya tradisi ngubek leuwi yang merupakan bagian dari gelaran festival budaya dan seni.
Kegiatan ngubek leuwi sekaligus juga ditujukan untuk membangun kesadaran warga terhadap kelestarian daerah aliran sungai (DAS) yang selama ini menjadi salah satu sumber kehidupan warga. Apalagi, kesadaran memelihara lingkungan, termasuk hulu sungai Cipasarangan semakin menurun. Ada sekelompok orang yang justru melakukan perusakan sumber air di hulu sungai.
Padahal, Desa Cikelet merupakan salah satu daerah potensial periwisata di Jawa Barat yang terletak di ujung selatan Kabupaten Garut. Di kawasan ini terdapat aneka objek wisata yang menyajikan pesona alam luar biasa terutama pantainya. Di antaranya adalah wisata pantai, seperti Pantai Sayang Heulang, Pantai Santolo, dan Pantai Rancabuaya.
Kecamatan Cikelet juga memiliki kekayaan budaya yang khas, yaitu kampung adat Dukuh. Kampung tradisional ini masih teguh mempertahankan identitas tradisi kampung Sunda lama. Letaknya di kaki Gunung Dukuh, sekitar 10 km dari pusat kecamatan Cikelet.
Dilihat dari sejarahnya, masyarakat adat Dukuh memiliki wilayah adat dengan batas Gunung Ragas (dalam istilah masyarakat setempat disebut haur duni) di sebelah utara, Laut Selatan atau Samudra Hindia di sebelah selatan, Sungai Cimangke di sebelah barat, dan Sungai Cipasarangan di sebelah timur. Batas-batas ini kemudian secara administratif dijadikan batas Desa Cijambe.
Salah satu ujaran hidup kampung adat Dukuh yang berkaitan dengan bidang pelestarian alam adalah ulah coba-coba motong iwung bitung di tonggoh sabab bisa edan salelembur. Maknanya adalah melarang orang mengambil atau menebang pohon di lereng gunung sebab bisa mengakibatkan orang sekampung menjadi gila.
Ujaran itu sudah dijalankan sejak beratus-ratus tahun lalu. Tidak ada yang berani melanggarnya karena takut gila. Sebenarnya, hutan itu dikeramatkan karena berada di kawasan lereng pegunungan yang curam. Luasnya 10 hektare dan merupakan daerah resapan air, termasuk mata air sungai Cipasarangan.
Jika hutan ini terganggu, selain warga sekampung di bawahnya akan kesulitan air, bahaya longsor dan banjir juga mengancam mereka.
Kerusakan Hutan
Namun, sejak reformasi 1998, telah terjadi hal yang merugikan bagi kawasan hutan di hulu sungai Cipasarangan. Sekelompok orang tidak bertanggung jawab membabat hutan untuk mengambil kayunya. Padahal hutan tersebut merupakan daerah resapan air dan sangat penting untuk menjaga kestabilan daerah di sekitar sungai. Akibatnya, pada akhir 2010, banjir bandang menghantam Cikelet.
Sungai Cipasarangan yang semula jernih berubah menjadi cokelat karena membawa lumpur dan material lain. Luapannya merendam perkampungan di daerah alirannya.
Peristiwa ini menimbulkan keprihatinan berbagai pihak. Beragam cara dilakukan untuk menyadarkan dan menggerakkan masyarakat untuk mengembalikan kondisi hutan di hulu sungai Cipasarangan seperti semula.
Namun, cara penyuluhan yang diberikan pada masyarakat dirasa tidak efektif untuk menggerakkan masyarakat. Latar belakang pendidikan sebagian besar warga yang tidak memadai menjadi kendalanya. Akhirnya, ditemukan cara untuk mengumpulkan warga, yakni dengan menggelar hiburan tradisional berlabel Festival Cipasarangan.
Dalam festival itu digelar aneka kesenian tradisional mulai musik tradisional, seperti terbang (rebana) gembrung atau terbang sejak, dan juga pencak silat. Agar warga aktif berpartisipasi, digelar atraksi ngubek leuwi di sungai Cipasarangan.
Leuwi yang diubek-ubek untuk dicari ikannya dengan tangan kosong itu dipilih yang agak luas tetapi tidak terlalu dalam. Kebetulan lubuk itu berada di bawah jembatan jalur Jabar selatan, tidak jauh dari tempat bermuaranya sungai itu di Samudra Hindia. Berdasarkan hasil dari “hitung-hitungan” para sesepuh Cikelet, ngubek leuwi diselenggarakan pada setiap hari kedua Lebaran.
Acara itu digelar di aliran sungai Cipasarangan, Desa Cikelet, di kawasan pantai selatan, Kabupaten Garut. Penyelenggaranya adalah anak-anak muda Cikelet yang tergabung dalam rumah Budaya Cipta Kreatif Lintas Talenta (CKLT) dan Yayasan Pagar Cipasarangan, Cikelet.
Melalui festival yang telah dimulai sejak enam tahun lalu ini, diharapkan muncul kesadaran warga akan pentingnya memelihara sungai. Ngubek leuwi hanya bisa dilakukan jika ada ikan di sungai. Agar ikan dapat hidup di sungai, airnya harus dalam kondisi bersih dan terjamin ketersediaannya. Semua itu terjadi jika hutan di hulunya yang menjadi sumber tangkapan air terjaga dengan baik.
Dengan demikian, kegiatan ngubek leuwi selain untuk membentuk ruang silahturahim antarwarga, juga sebagai upaya untuk mengingatkan kembali semua warga atas budaya dan kearifan lokal masyarakat setempat dalam hubungan manusia dengan alam sekitar. Terutama sebagai wahana penyadaran masyarakat akan pentingnya menjaga sumber air. Pagelaran seni rakyat disertakan sebagai upaya pelestarian seni tradisi yang selama ini tergerus zaman.
Sebagai simbol penyatuan seluruh mata air untuk kehidupan manusia, dalam kegiatan itu diisi upacara Kawin Cai, yakni menggabungkan air yang diambil dari tujuh sumber mata air di Kecamatan Cikelet, yakni mata air Gunung Dukuh, Gunung Kasur, mata air Cimangke, Cipasarangan, Cikarang, Cikandang, dan Ciseundeuhan.
Pada tahun ini, tradisi ngubek leuwi yang dilaksanaka pada bulan Juli terasa istimewa karena hadirnya dua bupati sekaligus, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi dan Bupati Garut Rudi Gunawan. Keduanya turun langsung ke leuwi berbaur dengan masyarakat untuk ngubek. Mereka juga menuangkan air yang berasal dari tujuh mata air berbeda ke Cipasarangan (kawin cai) sebagai bentuk penghormatan terhadap sumber air.
Sumber:
- http://www.purwakartakab.go.id/articles/tutup-liburan-bupati-purwakarta-ngubek-leuwi-di-garut-selatan
- http://www.wisatajabar.com/2015/07/tradisi-ngubek-leuwi-cipasarangan-garut.html
- Kompas, Sabtu, 3 September 2016.