Tongkonan, Rumah Tradisional dari Tana Toraja

5666
Tongkonan, Rumah Tradisional dari Tana Toraja
Rumah adat tongkonan di Kete Kesu Tana Toraja. (Foto: Arian Swegers/commons.wikimedia.org)

1001indonesia.net – Tongkonan adalah rumah adat Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Bentuk atapnya yang menjulang ke atas menantang gravitasi bumi dan hiasannya yang kaya akan ukiran dan warna memberi kesan mendalam yang tak terlupakan.

Susunan tumpukan dan pemanjangan bubungan menunjukkan kekhasan yang sama dengan rumah Austronesia lainnya di Nusantara. Rumah Tongkonan merupakan variasi dari rumah kapal warisan peradaban proto-Melayu yang mengangkat budaya bahari dalam arsitektur rumah mereka.

Pada rumah panggung dari Tana Toraja ini, kekhasan rumah tradisional Nusantara hadir dalam pencapaian arsitektural yang menawan. Pada saat yang sama, tongkonan mencontohkan banyak tema mengenai rumah sebagai pusat kegiatan masyarakat Nusantara, baik sosial maupun spiritual.

Secara sosial, tongkonan—berasal dari kata tongkon yang berarti menduduki atau tempat duduk—berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para bangsawan Toraja yang duduk bersama mengadakan pembicaraan. Secara spiritual, ritual berkaitan dengan tongkonan menjadi kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Toraja. Dalam ritual ini, seluruh anggota keluarga terlibat sebagai bagian dari sikap hormat mereka pada arwah leluhur.

Rumah Tongkonan sebagai Sejarah

Dalam masyarakat Nusantara yang bertradisi lisan, arsitektur rumah tradisional merangkum masa lalu dengan cara yang khas. Menurut tradisi Tana Toraja, hanya golongan bangsawan saja yang berhak membangun rumah asli yang mewah dengan ukiran (tongkonan) dan hanya mereka yang ingin mengenang silsilah panjang nenek moyang untuk rumah mereka. Sementara rakyat biasa tinggal di rumah yang tidak berhias, yang disebut banua.

Saat orang Tana Toraja menceritakan silsilah mereka, pertama-tama mereka selalu menyebut pasangan suami istri pendiri rumah asli. Kemudian mereka menyebut nama anak dan keturunan yang tersebar di seluruh negeri, dengan nama-nama rumah baru yang mereka dirikan, kadang dengan warisan mereka bawa ketika pindah. Pada akhirnya, kisah ini menghasilkan sebuah peta geografis lengkap dengan sejarah pemukimannya.

Rumah bangsawan yang terpenting merupakan tempat tinggal kepala pemerintahan setempat yang menguasai kumpulan desa-desa. Rumah ini mempunyai mitos dan legenda yang berkaitan dengan kisah nenek moyang mereka yang melakukan hal-hal yang mengagumkan serta warisan gaib yang masih disimpan di rumah atau mungkin telah lama hilang. Secara sosial, kisah-kisah tersebut berfungsi sebagai penguat tingkat kebangsawanan sang pemilik rumah.

Gaya rumah tradisional Tana Toraja mengalami perubahan dalam lintasan waktu.  Bangunan tua yang masih ada cenderung kecil, dengan hanya sedikit lengkungan di atap. Karena rumah menjadi perwujudan cita-cita kebangsawanan, secara perlahan rumah dibangun lebih tinggi dan lengkungan ke atas menjadi semakin berlebihan. Sebenarnya hal ini justru mengurangi ruangan dalam yang dapat digunakan. Namun, dari luar, semakin tampak jelas kesan rumah yang menunjukkan kekuatan dan kebanggaan.

Badan, Rumah, dan Alam Semesta

Seperti kebanyakan arsitektur rumah tradisional Indonesia lainnya, tata letak rumah Toraja dipenuhi dengan makna perlambang. Orientasi rumah Toraja mempunyai makna alam semesta, rancangan dan gugusan ragam hias ukiran di serambi menunjukkan kedudukan sosial penghuninya dan hubungannya dengan dunia roh.

Rumah harus menghadap utara—arah yang dihubungkan dengan sang pencipta “di atas”, Puang Matua. Sebaliknya, ujung selatan adalah “belakang” rumah (pollo’ banua), dihubungkan dengan nenek moyang dan dunia kemudian, Puya.  Barat dan Timur menunjukkan tangan kiri dan kanan. Timur dihubungkan dengan kedewaan (deata), sementara barat dikenal sebagai nenek moyang yang didewakan.

Hiasan Rumah Tongkonan

Pada umumnya ukiran rumah berpola tanaman dan satwa. Beberapa pola ini sangat sederhana, mengacu pada kehidupan keseharian, misalnya jejak rumput air, kecebong, atau semangka menjalar. Makna hiasan-hiasan tersebut terletak pada kemampuan berkembang biak atau menyebar dengan cepat. Hiasan-hiasan itu mewakili harapan bahwa pewaris rumah ini juga akan berkembang banyak.

Pola lain menggambarkan kerbau, padi, dan pernak-pernik warisan. Pola-pola ini melambangkan kelimpahan dan kekayaan yang diinginkan. Tiang penyangga dinding selalu dihias kepala kerbau (atas kiri) yang melambangkan kebangsawanan.

Dekat dengan ujung dinding serambi, terlihat ragam hias daun sirih dan pohon beringin—keduanya mempunyai hubungan dengan upacara—dan sopi-sopi atap, dua lapis pancaran sinar, ditumpangi ayam jantan (atas kanan). Citra ini melambangkan pangkat tinggi, keberanian, atau kebesaran, dan juga mewakili Tana Toraja, yang secara puitis sering dikatakan sebagai tandak tepongan bulan, tana matarik allo, “kampung dari lingkaran sinar bulan, tanah dari lingkaran sinar matahari.”

Ayam jantan merupakan bentuk perantara yang penting, dapat membangkitkan yang mati dan memenuhi keinginan dengan kokoknya, dan akhirnya terbang ke surga, berubah menjadi bintang-bintang.

Sumber: Gunawan Tjahjono, Indonesian Heritage: Arsitektur, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

ten + 12 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.