Nandong, Nyanyian Tradisional Masyarakat Simuelue

1785
Nandong-Nyanyian Tradisional Masyarakat Simuelue
Melalui kesenian Nandong, Para orang tua mengajarkan beragam hal pada generasi muda, termasuk tentang kebencanaan. (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)

1001indonesia.net – Nandong merupakan salah satu kesenian tradisional yang dimiliki masyarakat Simuelue, Aceh. Melalui kesenian ini, para orang tua membagikan beragam kearifan lokal, termasuk tentang bagaimana melihat gejala bencana alam yang akan terjadi.

Nandong berasal dari kata senandung yang berarti nyanyian atau alunan lagu dengan suara lembut untuk menghibur diri atau menidurkan bayi. Karena pengaruh dari dialek setempat, kata senandung kemudian berubah menjadi senandong.

Baca juga: Senandung Jolo, Tradisi Menyanyikan Pantun dari Jambi

Masyarakat lalu jadi terbiasa menyebutnya Nandong, yang berarti nyanyian atau alunan lagu berisikan pesan-pesan moral, ungkapan, dan nasihat tentang kehidupan sehari-hari.

Dilansir dari laman Kebudayaan.kemdikbud.go.id, kesenian Nandong merupakan hasil perpaduan antara budaya Minangkabau dan Simuelue. Kesenian ini diperkirakan telah berkembang sejak masyarakat Minangkabau mendatangi Pulau Simeulue pada abad ke-16.

Saat ini, Simeulue merupakan salah satu kabupaten di Aceh, Indonesia. Letaknya kurang lebih 150 km dari lepas pantai barat Aceh.

Nandong Smong

Melalui kesenian Nandong, para orang tua mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana melihat gejala bencana alam yang akan terjadi, seperti gempa bumi dan tsunami. Dalam Nandong, tsunami dikenal dengan nama smong.

Sejak tahun 1907, warga Simeulue sudah mengenal smong yang sempat terjadi di daerah Salur, Kecamatan Teupah Selatan, Kabupaten Simeulue. Pengalaman tsunami tersebut kemudian diturunkan melalui syair nyanyian Nandong agar warga cermat dalam membaca tanda alam.

Dalam syair juga dijelaskan ciri-ciri dari gejala bencana alam, seperti guncangan kuat, air laut yang tiba-tiba surut, serta gelombang besar yang akan melanda. Ternyata pengetahuan yang diajarkan lewat nyanyian ini sangat berguna, terutama ketika terjadi bencana alam.

Ketika gempa dan tsunami terjadi di pantai barat Aceh dan Sumatra Utara pada 26 Desember 2004, warga Simeulue yang tinggal di kawasan pesisir tercatat sebagai daerah dengan jumlah korban jiwa paling minim. Dari 78.000 penduduk Pulau Simeulue, tercatat korban jiwa berjumlah tujuh orang.

Dengan adanya Nandong Smong yang berisi kearifan lokal yang diwariskan turun-menurun, masyarakat Simeulue lebih mampu membaca tanda-tanda alam. Itu sebabnya, mereka dapat menghadapi datangnya bencana alam dengan lebih baik.

Pertunjukan Nandong

Biasanya, kesenian tradisional ini dimainkan oleh 3-5 orang. Sembari berpantun, mereka memainkan kedang, alat musik sejenis gendang. Kedang ditabuh di antara bait-bait pantun yang dilantunkan secara berbalas-balasan.

Biasanya pertunjukan lebih dulu diawali dengan Seuramo Gendang, yaitu tetabuhan musik gendang. Setelah terdengar Seuramo Gendang, baru secara perlahan syair dari Nandong dilantunkan. Musik Nandong akan bernada lirih, sedangkan para penyanyinya akan bersuara menjerit dengan meratap-ratap.

Di Simeulue, kesenian tradisional ini dipentaskan dalam beragam acara, seperti syukuran, sunatan, pesta pernikahan, dan pesta rakyat. Tradisi lisan ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB Indonesia) pada 2016 oleh Kemdikbud RI. 

Baca juga: Didong Gayo, Tradisi Lisan Masyarakat Aceh Bagian Tengah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

five × three =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.