1001indonesia.net – Nama aslinya Wiji Widodo. Dilahirkan pada 26 Agustus 1963 di kampung Sorogenen, Solo. Kita kemudian mengenalnya sebagai Wiji Thukul. Seorang penyair sekaligus aktivis pejuang hak asasi manusia yang keberadaannya masih misteri hingga sekarang.
Wiji berasal dari keluarga sederhana seperti umumnya masyarakat kampung Sorogenen yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai buruh dan tukang becak. Ia sendiri anak seorang tukang becak.
Oleh sebab itu, Wiji Thukul paham betul bagaimana rasanya hidup miskin. Pengalaman hidup inilah yang menjadi inspirasi bagi puisi-puisinya yang bernuansa protes pada ketidakadilan. Puisinya yang menjadi simbol bagi perlawanan juga menunjukkan pilihan hidupnya untuk melawan kesewenang-wenangan rezim otoriter. Pilihan yang harus ia bayar dengan mahal: menjadi korban praktik penghilangan orang (Munir, 2004).
Benar tidaknya Wiji Thukul menjadi korban praktik penghilangan orang, masih menjadi misteri hingga sekarang. Ada dugaan kuat ia telah mati. Sementara itu, beberapa kerabat dan teman dekatnya percaya, ia masih hidup dan suatu hari nanti akan kembali.
Yang pasti, sejak Agustus 1996, ia menjadi buron dan harus pergi bersembunyi meninggalkan istri (Dyah Sujirah alis Sipon) dan dua anaknya (Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah). Dan, sejak Mei 1998, ia dinyatakan hilang.
Penyair cadel—ia tak bisa mengucapkan “r” dengan sempurna—ini adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Setelah menamatkan SMP (1979), ia mengambil jurusan tari di SMKI (sekolah Menengah Karawitan Indonesia). Tapi, ia keluar sebelum berhasil menamatkan pendidikannya. Ia memilih bekerja supaya adik-adiknya bisa meneruskan sekolah. Ia kemudian bekerja sebagai loper koran dan tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel antik.
Sedari kecil, Wiji Widodo telah menyukai puisi. Saat ia duduk di bangku SMP, ia mulai tertarik juga pada dunia teater. Ia ikut kelompok Teater JAGAT (Jagalan Tengah) yang diasuh oleh Cempe Lawu Warta. Di teater inilah, ia mendapat nama baru: Wiji Thukul.
Bersama rekan Teater JAGAT, ia ngamen puisi dengan iringan alat musik. Mereka keluar masuk kampung menjajakan sajak-sajak ciptaan mereka bukan hanya di Solo, tapi juga Yogya, Klaten, bahkan hingga Surabaya.
Setelah menikah, bersama Sipon istrinya dan Halim H.D. ia mendirikan Sanggar Suka Banjir sebagai wahana anak-anak di kampungnya belajar teater.
Wiji Thukul rajin menulis puisi. Puisi-puisinya menyebar di berbagai media cetak, baik dalam negeri maupun luar negeri. Banyak puisinya yang tidak diterbitkan dan tersebar di antara teman-temannya dalam bentuk fotokopi. Selain puisi, ia menulis cerpen, esai, dan resensi puisi.
Kumpulan puisinya, Puisi Pelo dan Darman dan Lain-lain diterbitkan oleh Taman Budaya Surakarta (TBS). Pada 2004, untuk lebih mengenalkan sosok Wiji Thukul, penerbit Indonesia Tera mengumpulkan hampir semua sajaknya dan menerbitkannya dengan judul Aku Ingin Jadi Peluru: Kumpulan Puisi. Munir menulis esai pengantar untuk buku ini.
Wiji Thukul juga aktif dalam pembacaan puisi di berbagai tempat. Misalnya, pada 1989, ia pernah diundang membaca puisi oleh Goethe Institut di Aula Kedutaan Besar Jerman di Jakarta. Pada 1991, di tampil di Pasar malam Puisi yang diselenggarakan oleh Erasmus Huis Jakarta.
Sebagai aktivis, Wiji Thukul terlibat dengan berbagai aksi pembelaan dan perjuangan terhadap hak asasi manusia. Pada 1992, ia sebagai penduduk Jagalan-Pucangsawit bergabung dengan masyarakat sekampungnya di sekitar pabrik tekstil PT Sriwarna Asli, memprotes pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah pabrik itu. Ia juga terlibat dalam perjuangan petani di Ngawi (1994).
Pada 1995, ia terlibat dalam pemogokan buruh besar-besaran di PT Sritex. Lebih dari 15 ribu buruh ikut mogok kerja. Peritiwa ini membekas pada cacat di matanya akibat dihajar aparat keamanan.
Tapi, ia tidak berhenti. Wiji Thukul adalah tipe orang yang makin ditekan justru makin radikal. Bersama kalangan mahasiswa dan para pemuda yang berpikiran kritis, ia memperjuangkan kebebasan sipil melalui aksi-aksi di jalan di berbagai kota di pulau Jawa. Ia kemudian masuk ke ranah politik praktis dengan bergabung ke dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Puisi Wiji Thukul mudah dimengerti. Puisinya yang berangkat dari kenyataan pahit yang ia alami sendiri dengan gampang mengena di hati para korban ketidakadilan. Mungkin karena hal inilah, puisinya dengan mudah menjadi penyemangat orang-orang untuk bergerak memperjuangkan haknya. Deklamasi yang dilakukan Wiji Thukul menjadi api yang membakar semangat para demonstran.
Karena itulah, ia ditakutkan akan memobilisasi massa untuk melawan. Oleh penguasa kala itu, ia kemudian dicap sebagai tukang hasut dan agitator. Akibatnya, ia harus meninggalkan keluarganya karena diburu oleh rezim yang berkuasa. Ia bersembunyi di berbagai tempat sebelum akhirnya hilang entah ke mana.
Selepas kepergian Wiji Thukul, istri dan anak-anaknya menjalani kehidupan yang tidak mudah. Sipon harus bekerja keras, menjalankan usaha jahitan untuk menghidupi diri dan anak-anaknya. Fitri, putri sulungnya, sering diolok teman-teman sekolahnya sebagai anak orang buron.
Mengerti dengan apa yang dirasakan anaknya, Wiji Thukul menulis, “Kalau teman-temanmu tanya/ kenapa bapakmu dicari-cari polisi/ jawab saja:/ ‘karena bapakku orang berani’.”
Sipon dan kedua anaknya mengerti benar apa yang diperjuangkan dan dilakukan oleh Wiji Thukul. Mereka tidak menyalahkannya atas kesulitan hidup yang mereka alami. Mereka justru bangga padanya yang berani memperjuangkan kebenaran meski harus menantang bahaya.
Kiprahnya baik sebagai penyair maupun pejuang hak asasi manusia diakui. Dua penghargaan ia dapat. Pertama, pada 1991, ia menerima Wertheim Encourage Award yang diberikan oleh Wertheim Stichting di Belanda. Ia dan W.S. Rendra adalah penerima award pertama sejak yayasan itu didirikan untuk menghormati sosiolog dan ilmuwan Belanda W.E. Wertheim.
Kedua, pada 2002, ia memperoleh Yap Thiam Hien Award ke-10 atas jasanya dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.
Kita patut memberi penghargaan atas apa yang dilakukan dan diperjuangkan Wiji Thukul dalam perlindungan terhadap hak asasi manusia. Kisah hidupnya telah menyadarkan bangsa ini betapa buruknya negara yang berada dalam cengkeraman rezim otoriter yang sering mengorbankan rakyatnya demi keuntungan para elite penguasa. Ia juga pahlawan yang telah berjuang untuk Indonesia lebih baik.