Senandung Jolo, Tradisi Menyanyikan Pantun dari Jambi

1617
Pertunjukan Senandung Jolo
Pertunjukan Senandung Jolo (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)

1001indonesia.net – Bermula dari kebiasaan berbalas pantun antara pemuda dan pemudi yang sedang memadu kasih, Senandung Jolo berkembang sebagai kesenian yang dipertunjukkan pada berbagai acara. Dalam posisi duduk, pemain musik dan penyanyi melantunkan pantun-pantun secara berirama.

Senandung Jolo berkembang di Desa Tanjung, Kabupaten Muaro Jambi. Kebiasaan bajolo sudah ada sejak masa lalu, diwariskan dari generasi ke generasi. Dulu, di saat menggarap sawah, sudah menjadi kebiasaan para petani setempat untuk saling bersahutan berbalas pantun secara spontan.

Konon, tradisi menyanyikan pantun (bajolo) awalnya berkembang di kalangan muda-mudi. Para pemuda menggunakan pantun (jolo) untuk mengungkapkan isi hatinya kepada gadis idamannya. Pantun yang ia lantunkan secara berirama itu kemudian disahut oleh sang calon kekasih, juga dalam bentuk pantun yang dinyanyikan (bajolo).

Tradisi bajolo ini kemudian berkembang ke wilayah sosial yang lebih luas sebagai sarana untuk memeriahkan suasana. Masyarakat melakukannya saat mengolah sawah dan menangkap ikan di sungai. Kebiasaan ini kemudian berkembang sebagai kesenian pertunjukan untuk menghibur para hadirin di berbagai acara.

Mulanya tak ada nama khusus untuk seni tradisi ini kecuali sebutan jolo atau bajolo yang berarti pantun atau berpantun. Nama Senandung Jolo adalah sebutan baru. Diduga nama ini datang dari luar atau bukan dari pemilik tradisi ini. Istilah senandung, yang berarti menyanyikan, baru akrab di telinga warga Desa Tanjung sejak kesenian ini dibakukan namanya menjadi Senandung Jolo.

Seperti namanya yang baru ditambahkan kemudian, tabuhan musik yang mengiringi kesenian ini pun merupakan perkembangan belakangan. Awalnya, seperti nama aslinya, kegiatan bajolo merupakan “permainan” pantun yang disajikan dalam bentuk nyanyian. Sekadar sebagai pelepas lelah atau untuk membuat suasana menjadi lebih meriah.

Baca juga: Berahoi, Tradisi Unik Berbalas Pantun saat Panen Padi

Seiring waktu muncul instrumen musik pengiring yang terbuat dari bilah-bilah kayu. Bentuknya sejenis gambang. Kemudian sejak awal 2000-an ketika seni tradisi ini berkembang menjadi seni pertunjukan sepertin saat ini, instrumen musik pengiring aktivitas seni bajolo ditambah kendang kayu dan gong.

Dalam lintasan waktu, seni tradisi ini pernah mengalami mati suri akibat masuknya kesenian lain. Peristiwa ini terjadi menjelang pesta demokrasi Pemilu 1982. Ketika itu, seorang pengurus salah satu partai politik menyumbangkan perangkat alat musik calung dan gambus.

Semenjak itu, calung dan gambus mengisi sebagian ruang sosial masyarakat Desa Tanjung yang sebelumnya ditempati oleh pertunjukan bajolo. Akibatnya, Senandung Bajolo kehilangan panggung, tak lagi mendapat tempat di hati masyarakat.

Meski terpinggirkan, kesenian ini terselamatkan karena kegigihan para pelakunya, seperti Wak Maryam, Wak Zuhdi, dan Wak Begum dari Sanggar Seni Mengorak Silo. Dengan segala upaya, mereka berjuang menghidupi kembali tradisi bajolo.

Upaya mereka tak sia-sia. Setelah 20 tahun terlupakan, kesenian ini mulai dilirik kembali, terutama dari kalangan akademik. Sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menjadikan Senandung Jolo sebagai objek penelitian untuk penulisan skripsi (S1) dan tesis (S2) mereka.

Selain itu, institusi kebudayaan mulai memanggungkan mereka, seperti dilakukan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Cabang Jambi bersama Balai Bahasa Jambi lewat Panggung Pertunjukan Seni Tradisi.

Pada 2014, Kemdikbud menetapkan Senandung Jolo sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia dari Provinsi Jambi.

Baca juga: Pantun Batobo, Warisan Budaya Tak Benda dari Riau

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

14 + 18 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.